Mataram (ANTARA News) - Dua orang tenaga kerja wanita bernama Sumiyati binti Muhammad Amin, dan Masani binti Syamsuddin Umar, yang lolos hukuman mati di Arab Saudi sudah berada di Nusa Tenggara Barat untuk berkumpul kembali dengan keluarganya.

Kepala Balai Pelayanan Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja (BP3TKI) Mataram, Joko Purwanto, di Mataram, Kamis, mengatakan Sumiyati, dan Masani diterbangkan dari Riyadh, Arab Saudi, menuju Dubai pada Selasa (5/6). Kemudian diterbangkan dari Dubai menuju Jakarta pada Rabu (6/6), dan tiba di Bandara Internasional Lombok pada Kamis (7/6), pukul 08.55 WITA.

"Keduanya turun dari pesawat Garuda di Bandara Internasional Lombok pukul 08.55 WITA, dan diserahkan langsung oleh pihak Kementerian Luar Negeri kepada keluarga yang menunggu di bandara," katanya.

Sumiyati binti Muhammad Amin berasal dari Desa Labuan Bontong, Kecamatan Tarano, sedangkan Masani Binti Syamsuddin berasal dari Desa Kalimango, Kecamatan Alas Timur, Kabupaten Sumbawa.

Keduanya ditangkap polisi Arab Saudi pada 27 Desember 2014 atas tuduhan bersekongkol melakukan sihir sehingga anak majikan menderita sakit permanen.

Mereka juga dituduh bersekongkol membunuh ibu majikan dengan cara sengaja melalaikan penyuntikan insulin ke tubuh ibu majikan (penderita diabetes) yang mengakibatkan korban meninggal dunia.

Kasus tersebut baru diketahui pada 23 Januari 2015, saat Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) melakukan kunjungan ke penjara Kota Dawadmi yang jaraknya sekitar 300 kilometer dari Riyadh.

Baca juga: Nurkoyah bebas dari hukuman mati di Saudi, ingin segera pulang ke Karawang

Baca juga: KBRI Riyadh selamatkan dua WNI dari hukuman mati


Selanjutnya, KBRI Riyadh melakukan pendampingan intensif dalam menjalani proses hukum di persidangan dan secara rutin melakukan kunjungan penjara untuk membekali keduanya dalam menghadapi proses pemeriksaan persidangan.

Pada sidang ke-10 yang digelar pada 20 Februari 2016, Pengadilan Pidana Kota Dawadmi memutuskan perkara kasus sihir dengan menjatuhkan hukuman ta`zir (dera). Masing-masing dihukum penjara di Kota Dawadmi selama 1,5 tahun untuk Sumiyati dan 1 tahun untuk Masani.

Putusan tersebut didasarkan bukti pengakuan kedua WNI saat di penyidikan yang dilegalisasi pengadilan. Sementara perkara hak khusus yang diajukan ahli waris korban dengan tuntutan hukuman mati (qhisash) ditolak pengadilan karena tidak cukup bukti.

Pada persidangan yang digelar 10 Agustus 2017, pengadilan memutuskan untuk menolak tuntutan "qhisash" atau hukuman mati terhadap kedua WNI. Alasannya, salah seorang ahli waris, Sinhaj Al Otaibi (kakak kandung FO), di depan persidangan menegaskan mencabut hak tuntutan "qhisash" terhadap kedua WNI tanpa menuntut kompensasi apapun.

Baca juga: Kemenlu komitmen perbaiki komunikasi dengan Arab Saudi

Baca juga: WNI lolos dari hukuman mati di Malaysia

Pewarta: Awaludin
Editor: Monalisa
Copyright © ANTARA 2018