Naypyidaw, Myanmar (ANTARA News) - Pemimpin de facto Myanmar Aung San Suu Kyi menerima kunjungan delegasi Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada Senin (30/4), kunjungan diplomatik tingkat tertinggi sejak awal krisis Rohingya, yang akan mencakup kunjungan singkat ke negara bagian Rakhine yang dilanda kekerasan.

Suu Kyi banyak dikritik di luar negeri karena kegagalannya berbicara untuk muslim Rohingya atau secara terbuka mengecam tentara karena mengusir mereka keluar dari negara itu.

Pada Senin sore dia memimpin pertemuan 15 delegasi PBB menurut foto-foto Kementerian Informasi, saat PBB berusaha memberi tekanan lebih kepada Myanmar untuk memungkinkan pengungsi kembali dengan selamat.

Delegasi PBB akan melakukan perjalanan menggunakan helikopter pada Selasa di atas lanskap di negara bagian Rakhine utara, tempat operasi militer yang dimulai Agustus lalu memaksa sekitar 700.000 warga Rohingya mengungsi ke negara tetangga Bangladesh.

Mereka mengunjungi Myanmar setelah berada di Bangladesh, tempat para pengungsi Rohingya mengungkapkan trauma mereka kepada delegasi. Setelah meninggalkan Bangladesh delegasi PBB mengatakan mereka akan menekan Myanmar untuk menjamin pemulangan aman bagi mereka yang mengungsi

Baca juga: PBB ke Myanmar untuk kunjungi pengungsi Rohingya

"Ini adalah krisis kemanusiaan dan masalah hak asasi manusia," kata Duta Besar Kuwait untuk PBB Mansour al Otaibi kepada wartawan sebelum terbang ke ibu kota Myanmar, Naypyidaw.

Warga Rohingya mengungsi setelah tentara Myanmar melakukan "operasi pembersihan" yang menurut tentara Myanmar menargetkan pasukan militan.

Namun, warga sipil telah memberikan kesaksian yang konsisten tentang pembunuhan massal, pemerkosaan dan pembakaran desa setelah melarikan diri dari pasukan yang membakar ratusan desa mereka menurut siaran AFP.

Para utusan PBB bertemu dengan Perdana Menteri Bangladesh Sheikh Hasina pada Senin pagi sebelum bertolak ke Myanmar.

Namun wakil duta besar Rusia Dmitry Polyanskiy, yang negaranya mendukung Myanmar, mengingatkan bahwa dewan tidak punya "tongkat sihir" solusi untuk masalah itu.

"Kami tidak berpaling dari krisis ini, kami tidak menutup mata," katanya.

Bangladesh dan Myanmar sudah menandatangani kesepakatan repatriasu pada November namun sejauh ini belum ada pengungsi yang dipulangkan.

"Kami ingin restorasi kewarganegaraan kami di bawah etnisitas Rohingya. Kami ingin jaminan keamanan dan pengembalian tanah dan properti kami yang dirampas," kata pemimpin Rohingya, Mohibullah.

Rohingya sudah puluhan tahun menghadapi persekusi di negara berpenduduk mayoritas Buddha, Myanmar, tempat mereka dianggap sebagai imigran ilegal dari Bangladesh dan kewarganegaraan mereka ditolak.
 

Penerjemah: Monalisa
Editor: Maryati
Copyright © ANTARA 2018