Jambi (ANTARA News) - Masyarakat Desa Guguk, Kabupaten Merangin, Provinsi Jambi, yang konon berasal dari keturunan Mataram dan Minangkabau Sumatera Barat dinilai gigih melawan sebuah perusahaan pemegang Hak Pengusahaan Hutan (HPH), demi menjaga kelestarian hutan dan lingkungan mereka. Desa Guguk di Kecamatan Sungai Manau Kabupaten Merangin itu merupakan sebuah desa yang berada di kawasan penyangga Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS). Kawasan itu mulai dihuni masyarakat setempat pada masa sebelum penjajahan Belanda, dan kala itu masih bernama "Pelegai Panjang". Abubakar (70), tokoh masyarakat setempat, mengatakan bahwa nenek moyang mereka berasal dari Mataram dan Minangkabau. Pada masa sebelum penjajahan tersebut, Kampung/Dusun Guguk merupakan pusat pemerintahan dari Marga Pembarap (artinya yang tua), yang dipimpin oleh "Nan duo silo", yaitu Depati. Marga Pembarap sendiri terdiri dari beberapa kampung/dusun yang dipimpin oleh kepala kampung/dusun. Namun, seiring dengan perkembangan zaman, daerah itu menjadi tempat berkumpul kelompok masyarakat di luar marga Pembarap dan membentuk marga lain. Marga Pembarap bersama marga lain lalu membentuk persekutuan wilayah yang disebut Luak-16, yang terdiri dari anak 10 dan induk enam. Induk enam tersebut adalah Pembarap, Tiang Pumpung, Sanggerahan, Peratin Tuo, Serampas; dan Sungai Tenang. Di antara Marga yang enam, marga Pembarap yang paling tua. Pembarap merupakan sandaran galah tambatan biduk dari raja (jenang) di waktu naik ke Luak-16. Batas-batas wilayah marga Pembarap tertuang dalam piagam Lantak Sepadan yang diserahkan Sultan Anom Seri Mogoro dari Kesultanan Jambi kepada Depati Pembarap pada hari Senin Bulan Syafar 1170 H. Isi piagam itu, antara lain "Hutan dan tanahnya itu hingga Teluk Serambi terus ke Tebat Gedang Tanjung Selasah terus ke Bukit Cempedak turun ke Setepung merampung ke Ulu Masat terus ke Serik Bedjadjo habis bateh dengan Masumai terus ke Pematang Buluh apo berbatas dengan Depati Ma". Tanah yang masuk kedalam wilayah yang disebutkan dalam piagam tersebut disebut juga tanah Depati/tanah Batin. Berdasarkan piagam Lantak Sepadan itulah, kata Abubakar, masyarakat Desa Guguk mengelola sumber daya alam yang ada di desa itu. Hanya saja, pada akhir 1990-an, masyarakat Desa Guguk ketenangannya mulai terusik dengan kehadiran pemegang HPH PT Injabsin. Padahal, masyarakat sejak turun-temurun menjaga kawasan hutan agar tetap lestari untuk diwariskan ke anak cucu, namun dicaplok dan masuk ke wilayah kerja HPH. Akibatnya, timbul perlawanan masyarakat, agar perusahaan mengembalikan wilayah hutan yang berada di desa mereka menjadi milik masyarakat dan keluar dari HPH. Seperti yang diungkapkan Abusama (45), yang kini dipercaya masyarakat sebagai ketua kelompok Hutan Guguk, perjuangan melawan pengusaha HPH ini tidak mudah. Pihak perusahaan bersikukuh dengan dalih memiliki izin, sementara masyarakat berkeyakinan kawasan kerja Injabsin telah melanggar batas wilayah yang termuat di dalam Piagam Lantak Sepadan dan juga diperkuat dengan adanya peta wilayah Marga Pembarap yang dibuat pada zaman penjajahan Belanda. PT Injabsin terus bergerak mengambil kayu dalam jumlah besar, masyarakat kian merasa dikebiri dengan keadaan itu. Masyarakat juga mulai cemas jika hutan mereka terus diambil kayunya oleh perusahaan, bagaimana nasib anak cucu mereka nanti, bagaimana anak cucu mereka memenuhi kebutuhan kayu untuk perumahan atau juga di lahan mana mereka akan berladang dan berkebun. Berdasarkan kondisi tersebut dan melihat masih adanya hutan sisa yang dekat dengan lokasi permukiman dan belum diekploitasi oleh perusahan, beberapa tokoh masyarakat berpikir untuk menyelamatkannya. Komunitas Konservasi Indonesia-Warung Informasi Konservasi (KKI-Warsi) sebagai Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) peduli penyelamatan lingkungan melakukan serangkaian advokasi dan menjembatani masyarakat untuk mengadakan pertemun dengan aparatur pemerintahan untuk mengembalikan hak masyarakat Desa Guguk. Direktur Eksekutif KKI-Warsi Jambi, Rakhmat Hidayat mengatakan, gagasan masyarakat difasilitasi dan diwujudkan. Pada 15 Februari 1999, disepakati bahwa hutan tersisa di daerah Bukit Tapanggang sebagai calon Hutan Adat Desa yang dikelola secara bijaksana dan menjadi penyangga kehidupan. Serangkaian kegiatan advokasi dilakukan untuk mengembalikan hak masyarakat adat, di antaranya dengan merebut areal hutan Guguk dari HPH PT Injapsin, sebagai penyelesaian tata batas hutan adat. Dari perjuangan masyarakat itu, akhirnya Bupati Merangin Rotani Yutaka mengeluarkan SK Nomor 287 Tahun 2003 tentang pengukuhan kawasan Bukit Tapanggang sebagai hutan adat masyarakat hukum adat Desa Guguk Kecamatan Sungai Manau Kabupaten Merangin pada 2 Juni 2003. Hutan adat seluas 800,53 hektare itu mengandung potensi 116 jenis pohon di antaranya tembesu, kulim, medang, dan meranti. Di sana juga dapat ditemui 91 jenis burung di antaranya rangkong, murai batu dan beberapa jenis elang, serta binatang langka Harimau Sumatera, Rusa dan Kijang, dan 21 jenis mamalia lain yang teridendifikasi. Sedangkan hasil hutan nonkayu, di hutan adat tersebut terdapat rotan, manau dan jernang. Untuk mengelola Hutan adat Desa Guguk dibutuhkan adanya kelembagaan dan aturan pengelolaan dengan membentuk Kelompok Pengelola Hutan Adat yang dikukuhkan oleh pemerintah desa yang kini diketuai Abusama. Untuk pengaturan pengelolaan dibuat payung hukum lokal berupa Peraturan Desa (Perdes) tentang hutan adat, kebun khas desa, pengelolaan dan pemanfaatan hutan adat. Dalam pemanfaatan hasil hutan baik kayu maupun nonkayu masyarakat mempunyai aturan yang telah disepakati bersama. Pengambilan kayu di kawasan hutan adat hanya boleh untuk kepentingan umum seperti membangun rumah ibadah, sekolah dan yang bersifat untuk kepentingan publik. Sedangkan untuk kepentingan pribadi hanya diperbolehkan dengan syarat harus mendapatkan izin dari kepala desa melalui kelompok pengelola hutan adat. Pelanggaran terhadap ketentuan yang telah ditetapkan itu, akan dikenakan sanksi yang cukup berat. Misalnya, penebangan liar dan membuka kebun di dalam kawasan hutan tanah adat tanpa izin, dikenai sanksi menurut hukum adat yakni seekor kerbau, beras 100 gantang, kelapa 100 buah, serta selemak semanis, atau denda Rp3 juta, dan alat penebangan disita untuk desa. Sanksi itu pernah dijatuhkan kepada PT Injabsin yang melakukan penebangan di areal kawasan hutan adat masyarakat Guguk Sedangkan, pihak yang mengambil hasil hutan tanpa izin dikenai sanksi denda setinggi-tingginya seekor kambing, 20 gantang beras, 20 buah kelapa dan selemak semanis. Sanksi-sanksi yang telah ditetapkan ini dipatuhi oleh masyarakat, namun apabila ada yang tidak mau membayar denda ini, maka pelaku pelanggaran akan diajukan ke pengadilan negara. Untuk menjaga penerapan aturan yang telah dibuat, kelompok pengelola secara rutin melakukan pengecekan dengan berkeliling hutan adat. Di samping itu masyarakat juga aktif terlibat dengan cepat memberikan laporan kepada kelompok pengelola jika menemukan hal-hal yang mencurigakan atau ada indikasi kegiatan penebangan. Selain mengelola hutan adat, masyarakat desa Guguk juga memiliki lubuk larangan. Lubuk larangan merupakan merupakan bentuk perlindungan masyarakat terhadap ekosistem air, dengan prosesi panen lubuk larangan setahun sekali. Untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan masyarakat dalam mengelola hutan adat, masyarakat juga diikutkan pelatihan-pelatihan dasar untuk penguatan kelembagaan ditingkat masyarakat. Untuk memberikan pendidikan dan pemahaman nilai-nilai budaya masyarakat Desa Guguk kepada generasi muda, maka setiap tanggal 2 Syawal (hari kedua Idul Fitri) setiap tahunnya, di desa ini digelar acara makan jantung. Acara ini merupakan pewarisan budaya dari generasi tua ke generasi muda. Pada kesempatan itu, para tengganai adat akan membacakan kembali Piagam Lantak Sepadan, yang merupakan dasar pengelolaan sumber daya alam di Desa Guguk. Ritual itu ditandai dengan ritual pemotongan kerbau dan makan bersama. Dengan upaya yang telah dilakukan masyarakat dengan didampingi KKI Warsi pada Agustus tahun lalu, Menteri Kehutanan (Menhut), MS Ka`ban, menyerahkan penghargaan "CBFM Award" kepada kelompok pengelola hutan adat Desa Guguk. Selain itu, masyarakat desa Guguk juga pernah mendapatkan penghargaan Kalpataru di tingkat Provinsi Jambi pada 2005. (*)

Oleh Oleh Indra Goeltom
Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2007