Rancangan Undang-Undang (RUU) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang dibahas DPR RI saat ini cenderung menciptakan kemunduran dalam pemberantasan korupsi,"
Yogyakarta (ANTARA News) - Pembahasan Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana melemahkan upaya pemberantasan korupsi, sehingga perlu dikaji ulang, kata Direktur Pusat Kajian Antikorupsi (Pukat) Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada Yogyakarta Zainal Arifin Mochtar.

"Rancangan Undang-Undang (RUU) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang dibahas DPR RI saat ini cenderung menciptakan kemunduran dalam pemberantasan korupsi. Oleh karena itu, kami mendesak presiden dan DPR RI agar pembahasan RUU KUHAP dikaji ulang atau dihentikan," katanya di Yogyakarta, Jumat.

Pada diskusi "Pelemahan Pemberantasan Korupsi Melalui RUU KUHAP", ia mengatakan RUU KUHAP terlihat tidak pro terhadap upaya pemberantasan korupsi seperti adanya penghapusan penyelidikan dan pengaturan penahanan perizinan. Selain itu, pembahasannya juga terkesan tidak ada kooordinasi.

"Waktu pembahasan RUU KUHAP sangat singkat, sehingga tidak sebanding dengan jumlah persoalan dan daftar isi masalah yang menumpuk dalam lingkup hukum acara pidana. Pembahasan RUU KUHAP tidak menyentuh RUU Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)," katanya.

Menurut dia, meskipun tidak semua substansi yang diatur dalam RUU KUHAP bermasalah, pembahasan RUU tersebut tidak menyentuh RUU KUHP. Padahal KUHAP merupakan hukum formil untuk menjalankan KUHP sebagai sumber hukum materiil.

"Bagaimana mungkin hukum materiilnya belum selesai, tetapi hokum formilnya selesai lebih dulu," kata dosen Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM) itu.

Ia mengatakan RUU KUHAP akan berimplikasi pada sistem peradilan yang sudah dibentuk sehingga dalam pembahasannya tidak boleh tergesa-gesa, karena sudah ada UU Kekuasaan Kehakiman, UU Mahkamah Agung, dan UU Komisi Yudisial yang berpengaruh satu sama lain.

"RUU KUHAP itu berpotensi menghilangkan peran beberapa lembaga yang selama ini mendukung aparat penegak hukum seperti Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK)," katanya.(*)

Pewarta: Bambang Sutopo Hadi
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2014