Risiko dan dampak perceraian pada perempuan dan anak ini sangat beragam, mulai dari kerentanan ekonomi keluarga
Jakarta (ANTARA) - Direktur Keluarga, Perempuan, Anak, Pemuda dan Olahraga (KPAPO) Bappenas RI Woro Srihastuti Sulistyaningrum membeberkan bahwa perceraian menimbulkan risiko dan dampak yang serius bagi anak dan perempuan.

"Risiko dan dampak perceraian pada perempuan dan anak ini sangat beragam, mulai dari kerentanan ekonomi keluarga," kata Woro dalam diskusi daring yang diikuti di Jakarta, Selasa.

Menurut Woro, kerentanan ekonomi akibat perceraian sangat mungkin terjadi karena pendapatan pasti akan berkurang sehingga mempengaruhi kesejahteraan dan keberlangsungan hidup terutama jika istri tidak bekerja.

Hal ini, lanjut dia, membuat anak berpotensi tidak mendapatkan pemenuhan kebutuhan dasarnya secara optimal.

Lebih lanjut, ia mengatakan perceraian akan memunculkan pola pengasuhan yang berbeda bagi anak sehingga meningkatkan risiko penelantaran dan pengabaian bagi anak.

Kemudian saat ibu terpaksa menjadi kepala keluarga dan bekerja, lalu anak diasuh oleh kerabat lain selain orang tua, Woro mengatakan anak akan berisiko kehilangan role model atau panutan yang baik dari orang tuanya. Hal ini akan mempengaruhi pola perilakunya sehari-hari.

Baca juga: Komisi VIII DPR dorong penguatan perlindungan anak korban perceraian

Baca juga: BKKBN: Angka perceraian naik munculkan fenomena JUS pada remaja


Selain itu, Woro melanjutkan perceraian juga menimbulkan isu mengenai kesehatan jiwa.

Pasalnya, anak bisa mengalami trauma, perasaan tertekan, merasa bersalah, hingga sedih berkepanjangan yang akan berdampak pada penurunan kesehatan anak dan prestasi belajar di sekolah. Begitu pula dengan perempuan, berisiko mengalami stres, merasa bersalah, cemas, takut dan tidak bahagia.

"Kemudian, anak juga bisa jadi objek perselisihan dalam hal perebutan hak asuh dan pembagian aset atau harta, akan membuat anak tidak nyaman. Apalagi kalau mereka harus memilih, pasti dia tertekan," imbuh Woro.

Ia melanjutkan, dampak lain dari perceraian di antaranya memungkinkan adanya berbagai tindak kekerasan bagi secara verbal, fisik, maupun seksual bagi perempuan dan anak.

Anak juga berisiko menarik diri dari pergaulan atau sulit beradaptasi. Selain itu, ada pula risiko munculnya ketidakadilan gender melalui stigmatisasi terhadap perempuan yang bercerai.

"Perempuan atau istri kerap menjadi pihak yang disalahkan dalam kasus perceraian dan ada konotasi negatif tentang janda di masyarakat," katanya.

Oleh karena itu, Woro mengatakan ada hal yang harus diperhatikan dalam peningkatan hak perempuan dan anak dalam perkara perceraian.

Menurut dia, saat proses perkara perceraian hakim harus memiliki perspektif gender dalam menilai kasus perceraian sehingga dapat memberikan putusan yang adil dan mempertimbangkan hak anak serta pihak yang bercerai.

Lebih lanjut, kata dia, perlu dilakukan pendampingan anak pada proses perkara perceraian serta penguatan regulasi khususnya peraturan teknis yang mengatur pemenuhan hak perempuan dan anak dalam kasus perceraian.

Sedangkan pada saat pasca perkara perceraian, Woro mengatakan perlunya instrumen dan mekanisme pengawasan terhadap pelaksanaan putusan pengadilan.

"Kemudian perlu disusun mekanisme pelaporan jika terjadi pelanggaran hasil keputusan pengadilan terkait hak asuh, tunjangan, dan lain-lainnya. Lalu penegakan sanksi bagi pelanggar keputusan," imbuh Woro.

Selain itu, pendampingan dan penyediaan layanan bagi perempuan dan anak juga dikatakan Woro merupakan hal yang sangat penting khususnya pada kasus perceraian akibat tindak kekerasan.

Baca juga: MA: 95 persen perceraian libatkan anak usia di bawah 18 tahun

Baca juga: Mahkamah Syar'iyah catat 3.341 pasangan di Aceh bercerai selama 2022

Pewarta: Suci Nurhaliza
Editor: Agus Salim
Copyright © ANTARA 2022