Data Survei Sosial Ekonomi Nasional ​​​​​​​(Susenas) 2003-2018, bayi stunting sekitar 39,5 persen lahir dalam keluarga yang menjadi perokok aktif dan berasal dari keluarga dengan kondisi ekonomi miskin
Jakarta (ANTARA) - Komite Nasional Pengendalian Tembakau (Komnas PT) menyebutkan sekitar 39,5 persen bayi yang lahir dalam keadaan kerdil berasal dari keluarga yang menjadi perokok aktif di Indonesia.

“Jadi ternyata, konsumsi rokok itu berhubungan erat dengan stunting (kekerdilan). Data menunjukkan bayi pada keluarga perokok, cenderung beratnya kurang,” kata Ketua Bidang Pendidikan dan Pemberdayaan Masyarakat Komite Nasional Pengendalian Tembakau Rita Damayanti dalam “Sosialisasi Pemahaman Hubungan Perilaku Merokok dan Stunting” yang diikuti secara daring di Jakarta, Kamis.

Menanggapi adanya kaitan stunting dengan rokok, ia menjelaskan berdasarkan data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) 2003-2018, bayi stunting sekitar 39,5 persen lahir dalam keluarga yang menjadi perokok aktif dan berasal dari keluarga dengan kondisi ekonomi miskin.

Bayi yang lahir tersebut cenderung memiliki kondisi dengan berat 1,5 kilogram lebih kecil dan sekitar 0,34 senti meter tingginya lebih pendek dari bayi yang lahir dari keluarga yang bukan menjadi perokok aktif bila melihat hasil penelitian Pusat Kajian Jaminan Sosial Universitas Indonesia (PKJS-UI) 2018.

Bahkan akibat orang tua merokok, bayi dapat mengalami kerusakan otak bagian depan (prefrontal cortex) akibat nikotin yang masuk ke saluran pernafasan. Padahal pada khususnya pada masa 1.000 Hari Pertama Kehidupan (HPK), otak pada anak sedang berkembang dengan pesat.

“Itu akan mengganggu perkembangan fungsi dari otak bagian depan, yang merupakan fungsi eksekutif untuk berfikir emosi. Jadi nanti bila anak kita terkena asap rokok atau merokok, itu membuat generasinya bukan generasi emas, tapi jadi generasi tidak potensial,” katanya.

Ia mengatakan rokok juga menyebabkan kondisi "brain damage" di mana syaraf anak untuk berkembang menjadi terhambat dan pertumbuhan janin menjadi terganggu.

Sementara selain mempengaruhi stunting, kondisi perokok anak juga mengalami kenaikan yang signifikan bila melihat data Riset Kesehatan Dasar​​​​​​​ (Riskesdas) 2018. Disebutkan bila angka prevalensi perokok pada anak naik menjadi 9,1 persen dari 7,2 persen pada tahun 2013.

Kenaikan itu, disebabkan oleh harga cukai tembakau (CT) yang masih tergolong murah dan rokok yang dapat dijual per batang. Sehingga masyarakat, khususnya anak-anak dan remaja yang masih bersekolah mudah mengaksesnya.

Menyadari bahwa rokok dapat mempengaruhi bangsa mendapatkan generasi emas di masa depan, Komnas PT meminta pemerintah untuk lebih serius dalam melakukan pengendalian konsumsi rokok secara tegas dan berkelanjutan.

“Saya kira, perlu melakukan pengendalian konsumsi rokok secara tegas dan berkelanjutan. Mari lindungi generasi emas, bukan menciptakan generasi cemas dengan rokok,” demikian Rita Damayanti ​​​​​​​.

Baca juga: BKKBN: Rokok jadi faktor Indonesia duduki posisi 108 kekerdilan dunia

Baca juga: Komnas PT: Klaim rokok elektronik lebih aman sudah terbantahkan

Baca juga: UI: Rokok berdampak pada kemiskinan hingga kekerdilan

Baca juga: Anemia saat hamil dan asap rokok dapat akibatkan "stunting" bayi


Pewarta: Hreeloita Dharma Shanti
Editor: Andi Jauhary
Copyright © ANTARA 2022