Jakarta (ANTARA) - Manajer Liverpool Juergen Klopp luar biasa murka sampai tak tahan untuk berkata, "jika ada pemain yang sama sekali tidak divaksinasi, maka dia terus menjadi ancaman terhadap kita semua."

Dia kesal ketika skuad selalu satu bus dalam perjalanan menuju satu pertandingan ke pertandingan lain, berada dalam satu ruang ganti dan satu ruang makan, masih saja ada orang yang tak mau divaksinasi.

Belum lagi saat bertanding melawan pemain lain yang pasti bersentuhan, padahal pemain yang bersentuhan belum pasti bebas COVID-19.

Baca juga: Sepekan terakhir Liga Premier temukan 90 kasus positif COVID-19

Itu mungkin tak apa-apa jika tak ada varian baru SARS-CoV-2 yang menyebabkan COVID-19 yang sudah hampir dua tahun ini mengganggu semua aspek kehidupan.

Virus ini juga telah merenggut 5,35 juta nyawa manusia di seluruh dunia, termasuk 144 ribu di Indonesia dan 128 ribu di Inggris di mana Klopp dan Liverpool berada.

Klopp kesal, hanya karena ada orang yang enggan memikirkan akibat dari pilihannya tidak divaksinasi kepada khalayak lebih besar, jadwal pertandingan terganggu untuk kemudian merusak segala ekspektasi.

Sikap tak bertanggung jawab itu juga membuat sejumlah pemain kunci Liga Inggris absen justru ketika dibutuhkan timnya, karena mesti dikarantina akibat masuk kluster kontak COVID-19.

Manajer baru Aston Villa Steven Gerrard juga geram, pun begitu pelatih Crystal Palace Patrick Vieira dan manajer Chelsea Thomas Tuchel.

Saking kesalnya mereka bahkan bersumpah tak akan merekrut pemain yang belum divaksinasi karena di mata mereka pemain-pemain seperti ini membahayakan yang lain mengingat mereka adalah pihak yang lebih mungkin ditulari Omicron dan kemudian menulari yang lain serta akhirnya merusak rencana kompetisi seperti jadwal pertandingan Liga Inggris belakangan ini.

Ketika ditanya apakah status vaksinasi pemain akan mempengaruhi kebijakan Liverpool dalam bursa transfer, Klopp mantap menjawab, "ya sudah pasti."

Baca juga: Mikel Arteta berusaha tetap positif di tengah lonjakan Covid-19

Klopp juga kesal terhadap manajemen Liga Premier yang tak bisa mengambil langkah terukur, sampai-sampai ada beberapa pertandingan yang dibatalkan hanya dua atau tiga jam sebelum kickoff.

Kekesalan seperti ini bergema ke Eropa yang salah satunya dilontarkan Stade Rennes dari Liga Prancis dan badan sepak bola Eropa, UEFA.

Rennes mengkritik Tottenham karena membatalkan pertandingan Liga Conference Europa ketika klub Prancis itu sudah berada di London.

Ternyata UEFA sama sebalnya. Akhirnya UEFA menyimpulkan Spurs tersisih dari fase grup kompetisi kontinental level tiga di Eropa itu, sebaliknya memutuskan Rennes dan Vitesse Arnhem maju ke fase gugur.

Semua peristiwa ini melukiskan betapa buruknya dampak Omicron dan kompetisi sepak bola hanyalah satu dari banyak sektor yang dirusak oleh varian yang sangat menular namun disebut-sebut memperlihatkan gejala ringan itu.

Namun orang lupa bahwa di Afrika Selatan yang menjadi asal varian ini, Omicron menyerang kaum muda yang selain bukan kelompok rentan tetapi juga rata-rata belum divaksinasi.

Seperti kebanyakan negara di dunia ini, Afrika Selatan baru memvaksin secara luas kelompok rentan seperti manula, pekerja kesehatan garis depan, dan mereka yang memiliki penyakit penyerta atau komorbid. Kaum mudanya sendiri belum begitu luas divaksinasi.

Baca juga: Klub Liga Premier sepakat kompetisi lanjut di tengah krisis COVID-19


Vaksin masih lebih baik

Data di Afrika Selatan sendiri memperlihatkan kebanyakan yang terpapar Omicron adalah kaum muda atau mereka yang belum divaksinasi, walaupun sejumlah analisis menyebutkan Omicron bisa mengelabui vaksin dan kekebalan tubuh yang tercipta karena sebelumnya pernah terpapar.

Mungkin karena kelompok muda ini maka gejala yang terlihat pun umumnya ringan. Akan lain persoalannya jika tingkat vaksinasi di sana sudah tinggi, mungkin tak seheboh sekarang. Varian Delta yang sempat membuat India kalang kabut hampir enam bulan lalu juga sebagian akibat rendahnya tingkat vaksinasi di sana.

Tingkat vaksinasi di Afrika Selatan sendiri masih rendah. Di negeri ini baru 26,3 persen yang sudah mendapatkan dua dosis vaksin. Ini lebih rendah dibandingkan dengan Indonesia yang sudah 39,1 persen, padahal jumlah penduduk Indonesia jauh lebih besar dari Afrika Selatan.

Dalam perspektif ini sepertinya vaksin menjadi benang merah. Bukan cuma karena omongan Juergen Klopp, karena pakar-pakar kesehatan sendiri menyatakan demikian, salah satunya Dr. Anthony Fauci yang pakar penyakit menular terkemuka di Amerika Serikat dan penasihat kesehatan Presiden Joe Biden.

Saat ini AS dibuat syok oleh kembali tingginya kasus COVID-19 walaupun kebanyakan masih akibat varian Delta. Namun Fauci memiliki teori lain bahwa Omicron bakal menciptakan gelombang baru infeksi COVID-19 di AS mengingat masih banyak penduduk negeri ini yang belum divaksinasi.

"Masalah utama yang dihadapi sistem rumah sakit di AS adalah begitu banyak orang di negeri ini yang sudah memenuhi syarat untuk divaksinasi tapi belum divaksinasi," kata Fauci kepada NBC.

Fauci sekilas menguatkan pandangan Klopp bahwa divaksinasi dan tidak divaksinasi itu menciptakan perbedaan besar, bahkan yakin angka kematian dan tingkat rawat di rumah sakit di AS bakal naik tahun depan, akibat Omicron.

Untuk itu dia mendorong Biden mengambil langkah lebih agresif lagi, di antaranya memberikan booster guna membentengi sistem rumah sakit dan kelompok paling rentan.

Baca juga: Klopp tak mau sembarangan rekrut pemain yang belum divaksin

Penjelasan ilmiah dari Afrika Selatan menguatkan kekhawatiran itu. Salah satu penjelasan itu disampaikan oleh Dr Angelique Coetzee yang merupakan orang pertama yang menemukan Omicron di Afrika Selatan.

Gejala virus corona berbeda antara varian satu dengan varian lainnya. Biasanya yang terserang COVID-19 mengalami demam, batuk, dan kehilangan penciuman dan rasa. Tapi ketika sudah bermutasi muncul gejala-gejala baru.

Untuk Omicron, menurut Coetzee, indikator utamanya adalah kelelahan, berkeringat saat malam, tenggorokan gatal, batuk kering dan nyeri otot ringan. Tak ada gejala hilang penciuman dan turunnya kadar oksigen.

Tetapi Coetzee menyatakan gejalanya akan lebih buruk pada orang yang tidak divaksinasi, bahkan banyak yang berakhir di rumah sakit.

Datanya sendiri mencengangkan, 88 sampai 90 persen pasien Omicron yang harus dirawat di rumah sakit adalah mereka yang belum divaksinasi.

Tak heran orang-orang seperti menteri urusan vaksin Inggris yang kini menteri pendidikan negara itu, Nadhim Zahawi, menyebut Omicron memburu mereka yang tidak divaksinasi alias yang tidak terlindungi.

Begitu tertular orang-orang ini bisa menularkannya kepada yang lain, termasuk kelompok rentan yang bisa saja terenggut nyawanya. Skenario ini bisa merusak segala rencana, target dan ekspektasi, termasuk jadwal kompetisi olah raga.

Jadi bisa dipahami jika Juergen Klopp marah kepada mereka yang tak mau divaksinasi, apalagi data dan pendapat ilmiah memperlihatkan bahwa vaksinasi masih formula yang lebih baik dalam melawan COVID-19, terlebih ketika kebanyakan orang tidak disiplin mengenakan masker, menjaga jarak, dan aspek-aspek protokol kesehatan lainnya.

Baca juga: Laga Aston Villa vs Burnley ditunda karena bertambahnya kasus COVID-19

Copyright © ANTARA 2021