Jakarta (ANTARA) - Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) mendukung Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) untuk mewajibkan penerbitan laporan polisi (LP) di setiap tingkatan, mulai dari pusat hingga ke daerah, sebagai wujud pengawasan dan penertiban terhadap pelayanan mereka.

“Kapolri beserta jajaran harus memberikan perhatian dengan melakukan pengawasan dan penertiban terhadap pelayanan pada setiap tingkatan dari pusat sampai daerah, khususnya terkait kewajban dalam menerbitkan LP,” kata Wakil Ketua LPSK Edwin Partogi Pasaribu dalam keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Rabu.

Dukungan tersebut merupakan tanggapan LPSK terhadap kasus anggota Polsek Pulogadung yang memarahi korban pencurian di Rawamangun, Jakarta Timur.

LPSK mengapresiasi langkah tersebut dan mengatakan bahwa sikap Polda Metro Jaya harus menjadi contoh. Meskipun begitu, menurut Edwin, langkah itu sepatutnya tidak berhenti di permintaan maaf saja, tetapi juga dilanjutkan melalui pengawasan dan penertiban pelayanan dari kepolisian, terutama penerbitan LP, baik di pusat maupun daerah.

Baca juga: Anggota Polsek Pulogadung dicopot karena tolak laporan warga

Di samping itu, Edwin pun menyampaikan penerbitan LP merupakan salah satu persoalan yang kerap dihadapi LPSK, khususnya dalam menelaah permohonan perlindungan yang diajukan oleh korban, saksi, ataupun pelapor.

Pada beberapa permohonan ke LPSK, kata Edwin, pelapor menceritakan bahwa mereka tidak mendapatkan surat tanda penerimaan laporan setelah menyampaikan laporan. Padahal, berdasarkan ketentuan yang berlaku, penerima laporan ditugasi untuk membuat tanda penerima laporan.

“Merujuk Pasal 3 ayat (4) Peraturan Kapolri Nomor 6 Tahun 2019 tentang Penyidikan Tindak Pidana, pada SPKT/SPK yang menerima laporan/pengaduan, ditempatkan bahwa penyidik/penyelidik pembantu ditugasi untuk membuat tanda penerima laporan,” jelas Edwin.

Apabila LP tidak diterbitkan, lanjut Edwin, ada beberapa dampak negatif terhadap upaya perlindungan saksi dan korban. Di antaranya adalah penurunan tingkat akuntabilitas penanganan perkara tindak pidana, khususnya akuntabilitas publik karena ketiadaan sumber informasi yang bisa menjadi rujukan.

Lalu, ada pula potensi pengelolaan laporan polisi yang tidak teradministrasikan secara baik, pengawasan secara internal pun sulit dilakukan, dan penanganan perkara menjadi tertutup. Jika penanganannya tertutup, kata Edwin, transaksi yang menghambat penanganan perkara sekaligus memperpanjang akses keadilan terhadap korban pun rawan terjadi.

Kemudian, pelapor atau korban juga menjadi sangat dirugikan karena tidak memiliki pegangan atau dasar untuk menanyakan maupun menagih perkembangan perkara.

“Bagi mereka tidak memiliki bukti lapor, pelapor akan kehilangan landasan untuk mengajukan permintaan informasi,” imbuh Edwin.

Pada kasus tidak diterimanya laporan oleh oknum anggota Polsek Pulogadung, korban mengaku hanya diminta menulis nama, tanggal lahir dan barang yang hilang. Setelah itu, menurut korban, tidak ada tindak lanjut terhadap laporan itu.

Edwin menilai, idealnya sebagaimana yang dimuat dalam Pasal 108 ayat (5) KUHAP, penyelidik atau penyidik harus memberikan surat tanda penerimaan laporan atau pengaduan kepada pelapor terhadap semua laporan atau pengaduan. Selanjutnya, penyelidik atau penyidik yang mendapatkan tugas menerima laporan berkewajiban memberikan pelayanan optimal bagi masyarakat yang melapor atau mengadu kepada Polri.
Baca juga: Polri jadikan tagar #PecumaAdaPolisi bahan evaluasi
Baca juga: Polisi dorong mahasiswi UNJ korban pelecehan buat laporan
Baca juga: Hotline pengaduan polantas nakal Polda Metro Jaya terima 300 laporan


Pewarta: Tri Meilani Ameliya
Editor: Tasrief Tarmizi
Copyright © ANTARA 2021