Jakarta (ANTARA) - Destructive Fishing Watch (DFW) Indonesia menginginkan peningkatan akurasi terhadap data kapal perikanan serta perwujudan seutuhnya perlindungan terhadap anak buah kapal (ABK) dalam rangka meningkatkan kinerja sektor perikanan nasional.

"KKP hanya punya data 1700 kapal untuk kapal di atas 30 GT, untuk di bawah 30 GT terutama untuk yang di bawah 10 GT, datanya belum tersedia secara valid di berbagai instansi," kata Koordinator Nasional DFW Indonesia Moh Abdi Suhufan dalam webinar yang digelar di Jakarta, Senin.

Abdi mencontohkan di Merauke tercatat hanya terdapat 60 kapal kecil terdaftar, padahal berdasarkan pengamatannya ada sekitar ratusan kapal ikan di sana.

Dari ratusan kapal ikan tersebut, lanjutnya, biasanya yang terdaftar umumnya adalah kapal yang merupakan bagian dari program bantuan kapal dari pemerintah.

Selain itu, ujar dia, masih ada titik labuh tidak resmi yang berfungsi sebagai pelabuhan tangkahan, yang tidak memiliki petugas pengawasan perikanan di pelabuhan tersebut.

Masih terkait di Merauke yang berbatasan dengan Laut Arafura, masih adanya pelanggaran batas yang dilakukan nelayan Indonesia ke wilayah Papua Nugini.

"Kapal-kapal dengan izin penangkapan WPP (Wilayah Pengelolaan Perikanan) 718 kerap melakukan pelanggaran batas ke wilayah PNG. Periode Mei 2020-November 2021 telah terjadi 6 kali penangkapan kapal Indonesia oleh pihak PNG," paparnya.

Sedangkan terkait dengan perlindungan hak ABK, Abdi menyatakan bahwa saat ini ini sistim dan mekanisme rekrutmen awak kapal perikanan dinilai masih sangat tidak transparan, penuh tipu daya, adanya praktik percaloan dan pungutan.

Untuk itu, ujar dia, perlu penataan sistem rekrutmen dengan mengedepankan transparansi, tidak menghasilkan kerja paksa, dan awak kapal perikanan tidak dibebankan biaya perekrutan dan jaminan. Selain itu, perlu ada pengaturan jika perekrutan dilakukan langsung oleh pemilik kapal atau perusahaan dan perekrutan yang dilakukan oleh agen.

"Jika perekrutan menggunakan agen, pemilik kapal atau perusahaan harus memiliki perjanjian atau kontrak tertulis resmi dengan agen yang mencakup penyediaan layanan perekrutan. Pemilik kapal atau perusahaan harus memastikan bahwa awak kapal yang direkrut dan ditempatkan oleh agen tersebut memahami dan menyetujui persyaratan kerja mereka secara sukarela dan tanpa ancaman hukuman," ucapnya.

Menurut dia, relasi hubungan antara ABK, nakhoda dan pemilik kapal/perusahaan selama ini dalam keadaan yang tidak seimbang dan adil, yang mendorong terjadinya eksploitasi tenaga kerja yang meluas bagi AKP.

Apalagi, lanjutnya, saat ini juga tidak tersedia akses untuk mediasi dan negosiasi dan belum ada cara untuk memastikan akuntabilitas.

Ia mengemukakan bahwa solusi yang ditawarkan antara lain konsolidasi dan pembentukan Serikat Awak Kapal Perikanan Nasional, program Sertifikasi Keterampilan Awak Kapal Perikanan, serta pendataan dan pendaftaran agen perekrut awak kapal perikanan domestik dan perlunya aturan main perekrutan.

Baca juga: KKP serahkan santunan Rp1,99 miliar ke keluarga ABK KM Hentri
Baca juga: Lima ABK kapal tenggelam di Perairan Selat Malaka ditemukan selamat
Baca juga: Menteri Trenggono apresiasi WNI ABK kapal ikan di Spanyol

Pewarta: M Razi Rahman
Editor: Kelik Dewanto
Copyright © ANTARA 2021