Jakarta (ANTARA) -
Wakil Ketua DPR RI Bidang Korkesra Abdul Muhaimin Iskandar (Gus Muhaimin) meminta Peraturan Pemerintah 85 Tahun 2021 tentang Jenis dan Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) Sektor Perikanan dicabut.
 
Gus Muhaimin dalam keterangannya di Jakarta, Rabu, mengaku siap memperjuangkan aspirasi dari asosiasi nelayan itu.
 
Dia mengaku akan meminta Menteri KKP Wahyu Sakti Trenggono untuk mencabut PP 85 Tahun 2021 karena dinilai memberatkan nelayan dan pengusaha perikanan Indonesia.
 
“Staf-staf saya di DPR telah merekam dan mencatat masukan secara detail. Saya kira ini perlu ditindaklanjuti, kalau menterinya tidak mau mencabut, ya kita dorong presiden yang mencabut,” kata Gus Muhaimin.
 
Gus Muhaimin berkomitmen tidak akan pernah berhenti untuk memberikan kontribusi pada iklim usaha yang kondusif dan produktif, terutama di sektor kelautan dan perikanan. Terlebih KKP adalah Kementerian yang didirikan oleh KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur.

Baca juga: Wakil Ketua DPR: KKP didirikan Gus Dur untuk makmurkan nelayan
 
“Kementerian ini kan yang bikin Gus Dur, jadi seharusnya memakmurkan masyarakat dari laut, bukan memberatkan,” kata Gus Muhaimin.
 
Sebelumnya, sejumlah asosiasi nelayan di Indonesia melakukan audiensi dengan Wakil Ketua DPR RI Bidang Korkesra Abdul Muhaimin Iskandar (Gus Muhaimin).
 
Mereka diterima Gus Muhaimin yang saat itu didampingi Anggota Komisi IV DPR RI Daniel Johan secara hibrid di Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta, Rabu.
 
“Saya menunggu usulan dan masukan untuk kita tindak lanjuti dari kegiatan pengusaha kapal maupun yang dialami masyarakat, terutama dampak Peraturan Pemerintah Nomor 85 dan pemberlakuan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) yang berlaku,” ucapnya.
 
Secara garis besar sejumlah asosiasi nelayan tersebut menyuarakan keberatan terhadap PNBP Sektor Perikanan pascaditerbitkannya PP 85 Tahun 2021 tentang Tarif PNBP Sektor Perikanan.

Baca juga: Muhaimin minta F-PKB kawal 20 persen APBN untuk pendidikan
 
Mereka menilai kenaikan tarif pada PP 85 merugikan nelayan dan pelaku usaha perikanan karena perbedaan tarif dan kenaikan pungutan yang tidak wajar.
 
Perwakilan Asosiasi Pengusaha Perikanan Gabion Belawan (AP2GB) Solah H Daulay menyatakan PP 85/2021 yang tujuannya untuk meningkatkan PNBP sektor perikanan tetapi justru membebani nelayan dan pelaku usaha perikanan.
 
Aturan sebelumnya kategori kapal skala kecil dari 60 GT dikenakan tarif 1 persen. Lalu PP 75/2015 meningkat 5 kali sehingga menjadi 5 persen dengan kategori kapal kecil 30-60 GT.
 
Pada PP 85/2021, ujarnya, GT kapal semakin kecil juga dikenakan. Kapal dengan ukuran 5-60 GT tarif 5 persen. Tarif PNBP 5 persen bagi nelayan kecil dinilai mengada-ada. "Kami mempertanyakan KKP ini konsultasinya dengan siapa,” kata Solah.
 
Sementara itu, Ketua Himpunan Nelayan Pengusaha Perikanan (HNPP) Samudra Bestari Remon menyoroti aturan mengenai patokan harga ikan. Menurutnya patokan harga ikan di daerah berbeda-beda dan yang ditetapkan KKP jauh melampaui harga tingkat pasar.
 
Hal itu, katanya, dapat dikatakan bahwa KKP menentukan harga patokan ikan (HPI) hanya berdasarkan perkiraan, tidak melihat realitas di masyarakat. Tingginya HPI akan meningkatkan pungutan terhadap PNBP sektor perikanan yang membebani nelayan dan pelaku usaha perikanan.
 
“Kita selama ini bergerak di perikanan sudah 30 tahun, tetapi kita tidak pernah diajak bicara pembahasan PP 85 itu, tiba-tiba saja sudah keluar, jadi isinya apa dan bagaimana dampaknya untuk kita, kita tidak tahu,” ucap Remon.

Baca juga: Muhaimin pimpin pelantikan anggota DPR RI PAW
 
Remon menilai pemerintah mengesahkan PP 85 Tahun 2021 secara mendadak dan tidak sesuai dengan ruh UU Perikanan. Dia menyatakan isi PP tersebut banyak yang tidak sesuai dengan harapan nelayan, bahkan cenderung memberatkan.
 
Dampak lain yang disuarakan asosiasi nelayan tersebut adalah masalah BBM solar yang susah didapatkan. Bahkan harga solar nonsubsidi di daerah mencapai Rp12.800 per liter, ditambah beban pajak sehingga nelayan tidak bisa melaut.

Ketua Umum Aliansi Nelayan Indonesia (ANI) Riyono menyatakan asal muasal sumber permasalahan penolakan dari nelayan terhadap PP 85 Tahun 2021 adalah berubahnya target PNBP dari sektor kelautan dan perikanan dari Rp600 miliar menjadi Rp12 triliun.
 
“Muara dari penolakan ini adalah dari target PNBP pemerintah dari Rp600 miliar menjadi Rp12 triliun. Karena itu saya kira ini harus dibatalkan,” kata Riyono.
 
Audiensi itu dihadiri sejumlah asosiasi, antara lain Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia, Himpunan Nelayan Samudera Lestari, Serikat Pekerja Perikanan Indonesia, Serikat Nelayan Nahdlatul Ulama, Himpunan Nelayan Purse Seine Nusantara, Paguyuban Nelayan Kota Tegal, Asosiasi Perikanan Budidaya, dan Akademisi.

Pewarta: Boyke Ledy Watra
Editor: Herry Soebanto
Copyright © ANTARA 2021