Jakarta (ANTARA) - Kementerian Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (Kemendes PDTT) menggagas program "Desa Peternakan Terpadu" sebagai langkah terobosan untuk meningkatkan ketahanan pangan utamanya ketersediaan daging di Tanah Air.

"Kehadiran Desa Peternakan Terpadu berkelanjutan ini menjadi salah satu terobosan agar ketahanan pangan kita membaik," ujar Mendes PDTT Abdul Halim Iskandar di Jakarta, Selasa.

Dia menjelaskan posisi Indonesia dalam Indeks Ketahanan Pangan Global (Global Food Security Index - GFSI) 2020 berada di posisi 65 dari 113 negara, menurun dari tahun sebelumnya di peringkat 62. Sedangkan Singapura, Malaysia, Thailand, dan Vietnam berada di posisi 20, 43, 51, dan 63.

"Situasi ini tentu harus menjadi perhatian bersama karena bagaimanapun kita mempunyai potensi besar untuk menciptakan ketahanan pangan yang lebih baik," katanya, dikutip dari siaran pers.

Gus Halim, panggilan akrab Abdul Halim Iskandar, mengatakan berdasarkan definisi Badan Pangan Dunia (Food and Agriculture Organization - FAO) terdapat empat pilar dalam ketahanan pangan, yaitu ketersediaan, akses atau keterjangkauan baik secara fisik dan ekonomi, utilisasi atau keragaman (gizi, nutrisi dan keragaman) dan stabilitas atau keberlangsungan.

"Posisi Indonesia dalam GFSI mengindikasikan belum terpenuhi salah satu atau beberapa pilar dalam ketahanan pangan," ucap dia.

Baca juga: Mendes PDTT minta BUMDes tingkatkan sinergi dengan SMK

Baca juga: Mendes PDTT dukung desa wisata penyangga DSP Mandalika


Presiden Jokowi, kata Gus Halim, cukup khawatir dengan penurunan indeks ketahanan pangan di Tanah Air tersebut. Bahkan Gus Halim mengungkapkan bahwa Presiden Jokowi meminta dirinya untuk memikirkan upaya peningkatan ketahanan pangan terutama ketersediaan daging di Indonesia.

"Presiden meminta agar sebagian dana desa dialokasikan untuk program peningkatan ketahanan pangan utamanya ketersediaan daging. Maka kami menindaklanjuti instruksi tersebut dengan program Desa Peternakan Terpadu," ujarnya.

Mantan Ketua DPRD Jawa Timur ini menjelaskan Desa Peternakan Terpadu merupakan sistem yang menggabungkan beberapa komoditas unit usaha pada satu pasar di suatu kawasan.

Nantinya desa-desa yang memiliki potensi di sektor peternakan akan dikembangkan sebagai sentral-sentral penyedia daging, baik dari sapi, kambing, hingga ayam.

Selain dikembangkan sebagai pusat-pusat peternakan, desa-desa tersebut juga dikembangkan sebagai pusat hortikultura.

"Kenapa Desa Peternakan Terpadu? Karena hulu-hilir pengelolaan peternakan ini akan dikelola dengan baik," ucap Gus Halim.

Dari proses penggemukan hingga pengelolaan kotoran ternak harus bisa memberi nilai tambah. Pengelolaan kotorannya, misalnya, harus bisa dijadikan pupuk untuk komoditas hortikultura yang dikembangkan secara terpadu.

Gus Halim mengatakan program ini akan melibatkan beberapa pemangku kepentingan. Selain kementerian/lembaga lain, program ini juga akan melibatkan pemerintah daerah, desa, hingga kalangan swasta.

"Ini program yang akan memberikan dampak besar dalam upaya peningkatan ketahanan pangan kita sehingga harus melibatkan banyak pemangku kepentingan lain. Nantinya Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) atau BUMDes Bersama yang jadi motor program ini," tuturnya.

Baca juga: Mendes PDTT optimistis Indonesia terbebas dari kemiskinan ekstrem 2024

Baca juga: Mendes PDTT: Pemda berperan penting dalam pembangunan desa


Program Desa Peternakan Terpadu ini, kata Gus Halim, jika tidak ada perubahan rencana akan diluncurkan pada akhir 2021. Nantinya program ini tidak hanya diaplikasikan di tingkat desa, tetapi juga bisa di entitas lain seperti pondok pesantren.

"Targetnya untuk warga masyarakat desa. Rencana saya bahkan tidak hanya untuk desa, tapi juga bisa diaplikasikan ke pesantren," katanya.

Sebagai langkah awal, kata Gus Halim, dalam waktu dekat akan diterbitkan buku panduan tentang Desa Peternakan Terpadu ini. Buku panduan tersebut akan dibuat dengan narasi sederhana sehingga bisa mudah dipahami oleh warga desa.

"Buku pedoman ini meskipun tidak bisa dipahami 100 persen masyarakat desa, tapi setidaknya 60 atau 70 persen dipahami biar tidak 'muspro' (sia-sia, red), cuma jadi tumpukan," ujarnya.

Pewarta: Sigit Pinardi
Editor: Chandra Hamdani Noor
Copyright © ANTARA 2021