Jakarta (ANTARA) - Pakar Intelijen dan Terorisme Stanislaus Riyanta mengatakan kelompok radikal memengaruhi masyarakat dari lintas agama untuk direkrut sebagai anggota dengan mengajak mereka untuk mengubah dunia menjadi lebih baik.

“Mereka (anggota-anggota kelompok radikal) lintas agama, lho. Saya mendapat pengakuan mengejutkan dari seorang remaja,” ucap Stanislaus Riyanta saat menjadi narasumber dalam podcast Kafe Tenggang Rasa Orang Lain, Etika Rukun Akur Norma Saling Inter-Aksi (Toleransi) yang diunggah dalam kanal YouTube Humas BNPT, dipantau dari Jakarta, Sabtu.

Dari pengalamannya tersebut, Stanis, sapaan akrab Stanislaus Riyanta menjelaskan remaja yang mengaku kepadanya itu diajak bergabung oleh kelompok ISIS di suatu kota, tepatnya daerah Sumatera.

Selama 6 bulan, ia menerima doktrin radikalisme dan menjadi tertarik ingin ke Suriah, meskipun remaja itu beragama Katolik. Pengakuan tersebut diungkapkan ketika korban telah tersadar bahwa tindakan radikal itu salah.

Pada saat ini, menurut Stanis, kelompok radikal memang tidak hanya mengandalkan motif ideologi agama, tetapi juga nilai-nilai lain, seperti perubahan yang lebih baik untuk dunia.

“Mereka tidak mengajarkan agama, tetapi perubahan, bagaimana anak muda terlibat pada perubahan dunia. Mereka tertarik dengan itu,” tutur Stanis.

Ia pun mengatakan, sebenarnya ada berbagai faktor yang dimanfaatkan kelompok radikal untuk mendorong seseorang terpapar radikalisme tanpa batasan latar belakang. Mereka bisa datang dari kalangan mana pun.

“Radikalisasi sudah masuk ke mana-mana, tidak hanya anak muda, tidak hanya agama atau kelompok tertentu, bahkan mereka dengan ekonomi yang baik dan pendidikan tinggi bisa masuk,” tegas Stanis.

Dia juga mengambil beberapa contoh terkait gambaran nyata kondisi itu. Pertama, kelompok radikal bisa memengaruhi seseorang yang terkendala kesulitan ekonomi dengan menjanjikan gaji yang besar ketika mereka bersedia menjadi anggota.

Kedua, mereka juga mengajak orang-orang yang memiliki rasa kebencian kepada pemerintah ataupun atasan. Dengan demikian, tambah Stanis, faktor pendorong seseorang bersedia bergabung ke dalam kelompok radikal itu berbeda-beda. Akan tetapi, mereka akhirnya disatukan dalam satu ideologi.

Untuk itu, Stanis menilai permasalahan terkait ideologi kebangsaan yang perlu dibenahi untuk melawan radikalisme. Ia berpendapat masyarakat, khususnya kaum muda yang terpapar radikalisme ini cenderung melihat ideologi Pancasila sebagai sesuatu yang tidak lagi menarik.

Dalam mengatasinya, Stanis menganjurkan cara penanaman ideologi Pancasila di kalangan generasi muda Indonesia haruslah bergaya milenial. Pemerintah dan para pihak terkait diharapkan dapat memanfaatkan media sosial yang digandrungi kaum muda untuk membuat mereka tertarik terhadap Pancasila.

“Mereka disuruh buat vlog, konten-konten agar mereka tertarik,” saran Stanis.

Baca juga: Pakar: BNPT perlu diberi kewenangan lebih atasi radikalisme

Baca juga: BNPT apresiasi pembentukan satgas penanggulangan terorisme Garut

Baca juga: BNPT: Umat beragama wajib taati perjanjian yang telah jadi kesepakatan


Pewarta: Tri Meilani Ameliya
Editor: Nurul Hayat
Copyright © ANTARA 2021