Jakarta (ANTARA) - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memetakan risiko-risiko korupsi yang dapat terjadi terkait dengan bantuan sosial (bansos).

Pertama, penerima bantuan fiktif (tidak ada). KPK melihat risiko korupsi jika data penerima bantuan tidak padan dengan Nomor Induk Kependudukan (NIK).

"Ini bisa jadi ganda karena tidak bisa secara cepat diidentifikasi siapa yang menerima dua (bantuan). Kalau nama kan ada M Nasir dengan Muh Nasir dengan Muhammad Nasir dengan Muhammad N itu bisa jadi empat orang tetapi kalau ada NIK-nya ketahuan dia hanya satu," kata Deputi Pencegahan dan Monitoring KPK Pahala Nainggolan saat Webinar JAGA.ID "Bansos Dipotong Ke mana Harus Minta Tolong" melalui akun Youtube KPK, Kamis.

Terkait hal tersebut, Kementerian Sosial (Kemensos) telah menjalankan rekomendasi KPK dengan baik untuk menggabungkan tiga basis data penerima bansos.

"Oleh karena itu yang Bu Risma (Tri Rismaharini/Mensos) tunjukkan dari 193 juta (penerima) turun menjadi 155 juta hanya memastikan yang tidak ada NIK-nya. Jadi, kami bilang "ya sudah bu pede aja kalau tidak ada NIK-nya kemungkinan besar orangnya tidak ada". Jadi, sekarang dipastikan semua data harus ada NIK-nya. Kalau buat saya secara awam bilang kalau ada NIK-nya berarti manusianya ada di Indonesia paling tidak pernah tercatat di Indonesia," tuturnya.

Kedua, tidak perbaruinya data penerima bansos.

"Tahun ini ada NIK-nya benar tetapi kan orangnya bisa meninggal, bisa cerai, bisa pindah masuk pindah keluar. Kalau yang meninggal sama lahir saya dapat bocoran dari Pak Zudan (Zudan Arif Fakrulloh/Dirjen Dukcapil Kemendagri) setahun aja sudah tiga juta (orang) belum yang pindah mungkin sekitar 10 juta," ucap dia.

Akibat NIK tidak diperbarui tersebut, kata dia, maka bantuan menjadi salah sasaran.

"Karena NIK-nya tidak di-"update" bantuannya datang orangnya tidak ada, dibilang lah bantuan salah sasaran, masa dikasih sama orang yang tidak ada karena tidak di-"update" datanya. Itu yang kami bilang DTKS (Data Terpadu Kesejahteraan Sosial) tidak boleh statik dia harus dinamis karena "updating"-nya kan terjadi terus," ungkap Pahala.

Ketiga, barang tidak sesuai kuantitas atau kualitas.

"Kalau bansos dberikan dalam bentuk paket seperti kasus yang terdahulu pasti nanti ada laporan kurang kualitas, kurang kuantitas, saya dibagi kurang. Jadi, kami selesaikan solusinya dengan Bu Menteri (Tri Rismaharini) kalau bisa jangan dikasih dalam bentuk barang, sekarang yang terjadi hampir semua dalam bentuk tunai," tuturnya.

Keempat, pemotongan bantuan langsung tunai.

"Yang tidak kami duga ada risiko ada "tangan-tangan" ikut di lapangan yang mungut itu. Mungut Rp50.000 mungut Rp10.000, ada yang bilang ikhlas ada yang bilang tidak lantas ada yang bilang tranportasi, rela segala macam," ujar Pahala.

Pahala mengatakan hal tersebut tidak bisa ditolerir. Oleh karena itu, kata dia, masyarakat dapat melaporkannya melalui aplikasi JAGA.ID.

"Kami tidak bisa mentolerir, sistem kami ini pelaporan yang seperti itu masyarakat ingin melapor cepat saya dipotong Rp100.000. Itu kami sediakan sekarang namanya JAGA.ID. Sebenarnya sudah ada pelaporan seperti ini waktu bansosnya bentuk barang 1.000 lebih yang lapor, intinya tentang kuantitas kualitas barang, saya sudah didaftar tetapi kok belum (dapat)," kata Pahala.

Baca juga: Mantan penyidik KPK Stepanus Robin Pattuju segera disidang
Baca juga: Sahroni: Laporan LHKPN bentuk komitmen pejabat publik

Pewarta: Benardy Ferdiansyah
Editor: Tasrief Tarmizi
Copyright © ANTARA 2021