Pekanbaru (ANTARA) - Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) peduli lingkungan, Jikalahari, berharap Gubernur Riau segera menetapkan Pergub Pengakuan Masyarakat Hukum Adat, untuk memperkuat peran masyarakat adat dalam mengendalikan perubahan iklim.

"Dalam mengendalikan perubahan iklim, peran masyarakat adat diakui oleh pemerintah Indonesia. Pergub dibutuhkan, apalagi Riau baru mendapat lahan seluas 408 hektare yang terdiri atas Hutan Adat Imbo Putui Kenegerian Petapahan Desa Petapahan seluas 251 hektare lebih dan Hutan Adat Ghimbo Bonca Lida dan Ghimbo Pomuan kepada Masyarakat Hukum Kenegerian Kampa seluas 157 hektare lebih di Kabupaten Kampar," kata Koordinator JikalahariMade Ali di Pekanbaru, Kamis.

Baca juga: Puan: Perlu upaya bersama merawat bumi

Menurut dia, Pergub dibutuhkan untuk menyelamatkan "penjaga" bumi berkaitan dengan peringatan Hari Bumi jatuh pada 22 April 2021, yaitu keberadaan masyarakat adat yang bertekad menghentikan perubahan iklim.

Apalagi, katanya, Indonesia setelah meratifikasi UU No 16/2016 tentang Pengesahan Paris Agreement atas Konvensi Kerja PBB Perubahan Iklim, berkomitmen menurunkan emisi gas kaca melalui pelestarian hutan, energi terbarukan, dan peran serta masyarakat lokal dan masyarakat adat dalam pengendalian perubahan iklim yang selama ini diperjuangkan oleh Indonesia.

"Di Riau, Ranperda yang terkait dengan objek (wilayah) masyarakat adat cepat disahkan menjadi Perda, seperti Perda Siak 2 tahun 2015 tentang Penetapan Kampung Adat di Siak, Perda Rohul 1/2015 tentang Penetapan Desa dan Desa Adat," katanya.

Contoh lainnya Perda 10 tahun 2015 tentang Tanah Ulayat, Perda 14 2018 tentang Pedoman Pengakuan Keberadaan Masyarakat Hukum Adat dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Perda 10 tahun 2018 tentang RTRWP Riau 2018–2038 yang mengalokasikan hutan adat seluas 470,63 hektare yang tersebar di Kabupaten Kampar seluas 454,03 ha, Inhu seluas 16,6 hektare yang berada di luar kawasan hutan atau APL.

"Seharusnya Gubernur, Bupati dan DPRD perlu menggesa penetapan Ranperda terkait subjek masyarakat adat sebagaimana perintah Putusan MK No.35/PUU-X/2012 yang menyebutkan pengukuhan keberadaan dan hapusnya masyarakat hukum adat ditetapkan dengan Peraturan Daerah itu," kata Made Ali.

Khusus Perda 14 tahun 2018 tentang Pedoman Pengakuan Keberadaan Masyarakat Hukum Adat dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup, ada peluang pengakuan keberadaan masyarakat hukum adat diatur dalam Peraturan Gubernur yang diberi waktu satu tahun setelah perda disahkan.

Sementara itu, temuan Jikalahari, sejak hadirnya korporasi HTI, Sawit dan Tambang yang menghancurkan wilayah masyarakat adat di Riau, seperti Suku Sakai, Bonai, Talang Mamak, Petalangan,  Akit, Anak Rawa, Pesisir, Suku Laut dan Suku Hutan, sehingga masyarakat adat terusir dari wilayah adat yang akhirnya memusnahkan masyarakat adat di Riau.

Di hari bumi ini, ia berharap pemerintah bisa menyelamatkan masyarakat adat sebagai penjaga lingkungan hidup, hutan, tanah, flora dan fauna serta air untuk kesehatan dan keberlanjutan hidup umat manusia.

Baca juga: Pohon adat Sialang ditetapkan Kementerian LHK sebagai pohon dilindungi

Baca juga: Hutan alam Riau hanya tinggal 1.442.669 hektare

Baca juga: Jikalahari minta gubernur Riau publikasikan perusahaan pembakar lahan


"Karenanya Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (MenLHK) Siti Nurbaya perlu merevisi Peraturan Menteri LHK No P.20/MENLHK/SETJEN/KUM.1/6/2018 tentang Jenis Tumbuhan dan Satwa yang Dilindungi untuk memasukkan pohon sialang dan pohon-pohon yang dilindungi oleh masyarakat adat," katanya.

Gubernur Riau bersama DPRD segera merevisi Perda 10 tahun 2018 tentang RTRWP Riau 2018 – 2038 pasca-putusan Mahkamah Agung, salah satunya menambah luasan hutan adat seluas 4 juta hektare.

Pewarta: Frislidia
Editor: Endang Sukarelawati
Copyright © ANTARA 2021