Jakarta (ANTARA) - Matahari bersinar terik membakar kulit Haji Djali yang kian mengeriput dimakan waktu. Menenteng sekantong bunga tabur kelopak mawar, ia berjalan sendiri menuju sang terkasih yang lebih dulu terbaring menyatu dalam pusara.

Ia kemudian duduk di samping makam istrinya. Doa-doa terapalkan dalam sunyi meminta kepada Tuhan agar menjaga kekasih tercinta yang telah dipanggil lebih dulu menghadap-Nya.

Sesekali Haji Djali mengelus nisan bertuliskan nama Djubaedah sambil meratakan taburan bunga di atas pusara yang menghijau ditumbuhi rumput.

Haji Djalil sengaja berziarah ke pemakaman Pondok Ranggon Jakarta Timur, yang diperuntukkan khusus bagi korban COVID-19, menjenguk istri tercinta, sebelum Ramadhan tiba.

Sudah terbayang di depan mata, sepinya menjalani puasa yang hanya tinggal menghitung hari tanpa istri yang mendampingi.

Haji Djali kini harus merasakan Ramadhan dalam sepi. Tak ada lagi suara wajan dan spatula yang saling berbenturan pukul tiga pagi, tak ada lagi yang mengomel jika ia dan anak-anaknya masih terlelap menjelang Subuh yang dingin.

Hal serupa juga bakal dirasakan Wanda (25), perempuan asal Jakarta Timur. Ia harus melanjutkan kehidupan bersama kakaknya. Ayah Wanda telah meninggal beberapa tahun silam dan ibunya kemudian menyusul pada 27 Agustus 2020 akibat COVID-19.

Wanda kini tak hanya berperan sebagai anak namun menjadi sang penjaga rumah dan marwah orang tuanya. Saat dijumpai di pemakaman, mulut Wanda sudah terbata-bata, tak banyak kalimat runtut yang berhasil ia ciptakan.

"Jika seseorang tak percaya COVID-19, barangkali dia harus merasakan kehilangan lebih dulu," kata Wanda sembari mengusap air mata yang terus membasahi kelopak matanya.

Sahur dan berbuka puasa seolah akan menjadi teman setia dari kesepiannya. Bahkan hingga saat ini ia tak bisa membayangkan akan seperti apa ibadah puasa yang mesti dijalani. Apalagi jika membayangkan Idul Fitri, Wanda kembali terisak-isak, bahkan tangisnya lebih kencang dari suara angin yang beradu dengan pohon-pohon.

Wanda ingat jika dulu kala Ramadhan tiba, ibunya selalu berinisiatif untuk membuat makanan dari olahan daging ayam maupun sapi. Setelah selesai memasak, ibunya selalu membagikan ke keluarga maupun tetangga terdekat.

Ibunya juga sering mengajak tetangganya untuk makan bersama sehari sebelum puasa atau dikenal Munggah. Tikar digelar di depan rumah, masing-masing tetangga membawa makanan andalannya untuk disantap bersama saling mencicipi.

Ramadhan kali ini situasi Mungahan mungkin bisa kembali diselenggarakan, namun suasana membuatnya sangat berbeda.

Sementara Haji Djali mungkin akan sulit melupakan saat Subuh hari istrinya selalu membaca ayat suci Al Quran. Ia bercerita bahwa Istrinya adalah seseorang yang taat akan ajaran agama. Ramadhan menjadi bulan yang teramat spesial bagi Djubaedah.

Ia tak pernah melewatkan seharipun terawih kecuali saat berhalangan, pengajian rutin tak pernah absen, hingga menjadi panitia pengumpul zakat dan sedekah di masjid dekat kediamannya. Kali ini, kebiasaan-kebiasaan Djubaedah itu akan memudar bersama kenangan-kenangannya.

Baca juga: MUI: Ziarah kubur sebaiknya ditiadakan saat pandemi COVID-19

Pandemi yang merenggut

Kehilangan teramat sangat itu semua karena pandemi. Haji Djali bercerita bahwa istrinya meninggal setelah berjuang melawan COVID-19 pada September tahun lalu.

Awalnya, istri Haji Djali mengeluhkan sesak pernapasan yang berat. Haji Djali kemudian membawa Djubaedah ke rumah sakit dekat kediamannya di Pedongkelan, Jakarta Timur, untuk mendapatkan perawatan.

Saat itu tenaga kesehatan merekomendasikan agar dirawat intensif dan tentunya mesti diisolasi karena dikhawatirkan positif COVID-19. Mendengar hal tersebut, Haji Djali beserta ketiga anaknya sontak terkejut seolah tak percaya. Terlebih saat itu dia salah satu orang yang tak peduli akan adanya pandemi COVID-19.

Haji Djali tak menyetujui jika istrinya harus diisolasi di rumah sakit tersebut, ia justru ingin membawanya pulang ke rumah. Sehari setelah dibawa pulang, kondisi Djubaedah justru semakin mengkhawatirkan. Salah satu anaknya pun dengan tegas meminta agar Djubaedah diisolasi dan mendapatkan perawatan intensif.
Haji Djali saat ziarah ke makam istrinya yang meninggal akibat COVID-19 di Pemakaman Pondok Ranggon, Jakarta Timur, Jumat (9/4/2021). (ANTARA/Asep Firmansyah)



Sekitar pukul 21.00 WIB, Djubaedah kemudian dilarikan ke rumah sakit lain yang menjadi rujukan COVID-19. Haji Djali dan tiga anaknya hanya bisa menunggu di luar dan tak bisa menemani Djubaedah dalam kurungan tembok isolasi.

"Beliau sempat menghubungi lewat HP (handphone) sekitar pukul 11 malam, kondisinya seperti membaik, dan dia hanya mengatakan 'maaf...maaf...maaf," kata Haji Djali sambil mengusap air mata yang sudah tak bisa ia bendung lagi.

Hanya berselang satu jam saat ia dan ketiga anaknya kembali pulang, pihak rumah sakit menghubungi Haji Djali bahwa istrinya telah menghembuskan nafas terakhir dan harus dimakamkan di Pondok Ranggon sesuai ketentuan pemakaman COVID-19.

Seketika keheningan di rumah pecah, ia tak bisa berbuat apa-apa hanya isak tangis membumbung ke langit-langit. Ia pun tak diperbolehkan untuk melihat wajah istri tercintanya untuk yang terakhir kali, dan melihat dari kejauhan sang jasad masuk dalam pusara.

"Awalnya saya tetap tak percaya (COVID-19) sebab saat kematiannya belum ada surat yang menyatakan bahwa istri saya meninggal akibat penyakit itu. Dua hari setelah dimakamkan, surat positif COVID-19 akhirnya muncul," kata dia.

Sambil terisak-isak ia mengatakan bahwa COVID-19 memang nyata adanya. Dan apa yang awalnya ia tak percayai ternyata telah merenggut harta yang paling berharga dalam hidupnya.

Baca juga: MUI Sulsel imbau umat ikuti seruan agar sementara tidak ziarah kubur

Tak lepas dari isolasi

Saat ini tak ada kata yang lebih menakutkan dari "Positif COVID". Stigma yang menempel kepada orang yang terpapar maupun penyintas begitu kuat. Stigma itu membuat seseorang ditakuti bahkan setelah sembuh pun tak lantas lepas dari isolasi.

Jangankan di lingkungan luar atau pekerjaan, antar keluarga pun kini saling mencurigai. COVID-19 memang membuat dunia seakan menyempit, kita harus hati-hati dalam bertemu, jangankan berpelukan dengan keluarga atau teman lama, sebatas berjabat tangan pun tak diperbolehkan. Semua bak terkurung dan hanya bisa berkomunikasi melalui jaringan.

Yanto, seorang warga Klender, Jakarta Timur, merasakan hari-hari berat yang mesti dilalui. Setelah kehilangan istrinya, Yulianti, akibat COVID-19, ia juga dinyatakan positif. Entah dari mana awal mula yang membuat hampir seluruh keluarganya harus diisolasi mandiri di rumah, kecuali istri Yanto yang dilarikan ke rumah sakit.

Setelah tiga hari menjalani perawatan di RS, Yulianti meninggal dunia setelah penyakit komorbid diabetes memperparah gejala COVID-19. Ia dan kedua anaknya tak bisa menyaksikan proses pemakaman Yulianti hanya menangis pasrah di sudut kamar.

Yanto hanya diberi informasi pihak rumah sakit di mana Yulianti dimakamkan dan pada blok berapa. Masyarakat yang kemudian tahu bahwa istri Yanto meninggal COVID-19 berduka tapi tak sedikit pula menjauh karena takut terpapar virus mematikan tersebut.

Bahkan setelah ia dan anak-anaknya dinyatakan negatif usai menjalani tes usap, stigma buruk dari masyarakat tetap ia rasakan. Yanto berupaya meyakinkan bahwa dia sudah sembuh. Pada akhirnya sembuh membuat Yanto tak lantas lepas dari isolasi sosial.

"Stigma masyarakat yang membuat saya semakin sakit, bukan fisik tapi batin," kata dia.

Kehilangan telah membuat lubang di dalam hati Wanda, Haji Djali, dan Yanto yang sulit atau bahkan mustahil bisa mereka tutupi dengan cinta lain. Apalagi Ramadhan kali ini menjadi yang pertama yang mesti dijalani tanpa kasih sayang cinta pertamanya.

Meski sudah tak lagi bisa bersama menjalani hidup di dunia dengan orang terkasih, Haji Djali, Yanto, dan Wanda yakin bahwa kasih sayang tak akan pernah putus. Sebab doa adalah obat mujarab saat pertemuan menjadi hal yang mustahil.

Baca juga: Pemakaman Muslim Al Azhar tiadakan ziarah kubur
Baca juga: TPU di Jaksel batasi peziarah jelang Ramadhan

 

Editor: Arief Mujayatno
Copyright © ANTARA 2021