Jakarta (ANTARA) - Pada awal Januari, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menerima kunjungan Menteri Kesehatan, Budi G Sadikin, dan Menteri BUMN, Erick Thohir guna membahas pengadaan vaksin Covid-19 yang diperlukan Indonesia dalam jumlah ratusan juta ampul. 

Kedatangan kedua menteri mengisyaratkan pemerintah serius menggandeng KPK untuk mengawal pengadaan dan distribusi vaksin Covid-19 itu. Sadikin saat itu menyatakan mereka meminta bantuan KPK untuk mengawasi apa saja risiko-risiko dalam pengadaan dan distribusi vaksin Covid-19.

Ia juga berjanji akan membuka seluruh pengadaan vaksin dan distribusinya secara transparan. Sementara Thohir mengatakan mereka telah menyiapkan kode di setiap dosis vaksin Covid-19 untuk memastikan vaksin disuntikkan ke orang yang tepat.

Pengawalan KPK dalam pengadaan vaksin Covid-19 itu memang dibutuhkan apalagi pengadaannya membutuhkan dana yang cukup besar sekitar Rp73 triliun.

KPK juga telah memastikan terus mengawal realokasi anggaran dan pelaksanaan pengalihan fokus kegiatan pemerintah terkait penanganan pandemi Covid-19 yang berpotensi menimbulkan kerugian keuangan negara maupun rawan terjadinya penyalahgunaan atau korupsi.

Diketahui, pemerintah sudah mengonfirmasi pemesanan 329,5 juta dosis vaksin Covid-19 dari berbagai produsen.

Pertama dari perusahaan farmasi China, Sinovac, sebanyak 125,5 juta dosis, kedua dari pabrikan vaksin Amerika Serikat-Kanada, Novavax, sebesar 50 juta dosis, ketiga dari kerja sama multilateral WHO dan Aliansi Vaksin Dunia (Covax-GAVI) dengan merek Novavax dan AstraZenica sebesar 50 juta dosis, keempat dari pabrikan Inggris, AstraZeneca, sebanyak 50 juta dosis, dan kelima perusahaan farmasi gabungan Jerman dan Amerika Serikat, Pfizer BioNTech, sebesar 50 juta.

Data Kementerian Kesehatan, rencana sasaran vaksinasi Covid-19 di Indonesia berjumlah 181.554.465 orang penduduk yang berumur di atas 18 tahun. Hal ini untuk mencapai tujuan timbulnya kekebalan kelompok (herd immunity).

KPK pun menyatakan bersama-sama kementerian dan lembaga terkait seperti Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan, Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, dan instansi lainnya terus mengawal dan memberikan masukan terkait kebijakan dan langkah-langkah pemerintah dalam pengadaan dan pendistribusian vaksin, termasuk alat kesehatan pendukung vaksinasi.

Plt Juru Bicara KPK Bidang Pencegahan, Ipi Maryati Kuding, menegaskan komitmen KPK itu sebagai bentuk upaya pencegahan korupsi dalam proses pengadaan vaksin yang dilakukan dalam situasi pandemi.

Kondisi tidak normal itu menjadi tantangan bagi pemerintah untuk memastikan bahwa setiap prosesnya dilakukan secara transparan dan akuntabel.

Adapun beberapa permasalahan yang diidentifikasi KPK dalam pengadaan vaksin dan rekomendasinya telah disampaikan baik dalam pertemuan audiensi maupun rapat-rapat yang diselenggarakan oleh pemerintah.

Terkait pengadaan alat kesehatan pendukung vaksinasi Covid-19 walaupun saat ini kondisi darurat, barang-barang alat kesehatan pendukung banyak tersedia di pasaran dan pengadaannya bisa direncanakan.

Rekomendasi
KPK pun merekomendasikan sebaiknya mengikuti ketentuan yang ada dalam Perpres Nomor 16/2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, yaitu dilakukan dengan metode pengadaan yang umum berlaku seperti pembelian secara elektronik atau e-procurement.

Hal itu untuk mendorong pengadaan yang transparan dan akuntabel serta menghindari potensi benturan kepentingan dan persekongkolan yang dapat terjadi jika menggunakan mekanisme penunjukkan langsung.

KPK juga mendorong agar pendataan penerima vaksin Covid-19 dilakukan secara akuntabel. Pendataan tersebut menjadi aspek krusial saat proses vaksinasi dimulai.

KPK mencontohkan dari data yang dirilis Kementerian Kesehatan per 4 Februari 2021, 42 persen tenaga kesehatan dari 1,5 juta yang menjadi target penerima vaksin tahap pertama telah divaksinasi. Artinya, ada kemajuan sejak akhir pekan lalu baru 25 persen yang telah divaksin.

"Salah satu kendala rendahnya cakupan vaksinasi sejak dicanangkan adalah terkait pendataan," kata dia.

Data nakes yang dimiliki Kemenkes saat ini bersumber dari Sistem Informasi Sumber Daya Manusia Kesehatan yang dimiliki Kementerian Kesehatan, Konsil Tenaga Kesehatan Indonesia, dan Konsil Kedokteran Indonesia.

Data itu belum terhubung dengan data pada Direktorat Jenderal Kependudukan dan Catatan Sipil Kementerian Dalam Negeri.

Oleh karena itu, untuk pelaksanaan vaksinasi ke depan KPK mendorong Kemenkes menggunakan data kependudukan yang dimiliki Ditjen Dukcapil dan dikombinasikan dengan data Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan sebagai basis data untuk proses pendataan penerima vaksin COVID-19.

Data Dukcapil sudah relatif rapi dan padu padan dengan Nomor Induk Kependudukan. Per 31 Desember 2020 Ditjen Dukcapil mengelola data 271,3 juta penduduk Indonesia.

Informasi yang KPK terima dari Kemendagri, saat ini tinggal 8 persen data NIK yang menunjukkan perbedaan antara alamat di KTP dengan domisili aktual.

Masukan itu telah KPK sampaikan dalam diskusi daring dengan Komite Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (KPC-PEN), Kementerian Komunikasi dan Informatika, Ditjen Dukcapil Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Kesehatan, dan BPJS Kesehatan pada 4 Februari 2021.

Hal ini dimaksudkan agar proses pendataan lebih cepat, terintegrasi, dan valid karena data berasal dari satu sumber.

Sebelumnya, dalam penyaluran bantuan sosial (bansos) bagi masyarakat terdampak Covid-19, KPK juga masih menyoroti terkait kualitas data penerima bantuan. Misalnya, KPK mendapatkan bahwa Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) tidak padan data dengan NIK dan tidak diperbaharui sesuai data kependudukan.

Hasil pemadanan DTKS dengan data NIK pada Ditjen Dukcapil pada Juni 2020 masih ada sekitar 16 juta yang tidak padan dengan NIK. Selain itu, data penerima bantuan regular seperti Program Keluarga Harapan, Bantuan Pangan Non Tunai, Penerima Bantuan Iuran Jaminan Kesehatan tidak merujuk pada DTKS.

Hal itu disebabkan proses pengumpulan data yang tidak didesain berbasis NIK sejak awal.

Selanjutnya, KPK juga menemukan adanya tumpah tindih penerima bansos. Berdasarkan pemadanan yang dilakukan di internal Kementerian Sosial masih ditemukan data ganda pada penerima bantuan sembako/BPNT.

Demikian juga berdasarkan pengelolaan data bansos di beberapa daerah, KPK menemukan masih terdapat penerima bansos regular yang juga menerima bantuan terkait Covid-19 seperti bantuan sosial tunai dan Bantuan Langsung Tunai dana desa.

Berkaca dari kasus pengadaan bansos di wilayah Jabodetabek, diharapkan dengan komitmen serius pemerintah dan juga pengawalan dari KPK bersama instansi lainnya tidak terjadi penyelewengan dalam pengadaan dan distribusi vaksin Covid-19.

Pewarta: Benardy Ferdiansyah
Editor: Ade P Marboen
Copyright © ANTARA 2021