Jakarta (ANTARA) - Undang-Undang Cipta Kerja (UU Ciptaker) alias Omnibus Law menjadi kisah tersendiri yang mengajak hampir seluruh masyarakat di tanah air untuk berpikir (bagi yang terbiasa melakukannya).

Sayangnya bagi sebagian yang lain, UU yang pada salah satu drafnya mencapai tebal 25 cm itu menjadi jalan pintas untuk dengan mudah memutuskan bersikap, hingga tanpa mesti membacanya sekalipun, ada yang langsung memutuskan menolak atau pun menerima.

Wajar jika kemudian baik konten maupun naskah bahkan halamannya pun menjadi perdebatan yang tak putus dalam beberapa waktu terakhir. Sampai kemudian berujung pada aksi unjuk rasa berkepanjangan yang saat puncaknya menyebabkan kerusakan berbagai fasilitas umum.

UU Ciptaker pada satu sisi telah dihakimi, bahkan sebelum dibaca dan dikaji dengan baik isinya. Beberapa di antara ahli hukum menyatakan masih sedang mempelajari dan mengaku perlu waktu untuk mengkaji lebih dalam isi UU tersebut.

Sayangnya sebagian oknum telah turun ke jalan dan sebagian kecil di antaranya melakukan aksi-aksi anarkis yang merugikan dengan mengatasnamakan penolakan terhadap UU tersebut.

UU Ciptaker yang disebutkan Presiden Joko Widodo diperlukan untuk tiga alasan oleh Indonesia itu (membuka lapangan kerja, mempermudah iklim usaha UMKM, dan menghapus praktik korupsi) hadir di tengah masih rendahnya minat baca masyarakat di tanah air.

Sebagaimana UNESCO menyebutkan Indonesia berada pada urutan kedua dari bawah soal literasi dunia, artinya minat baca sangat rendah. Menurut data UNESCO, minat baca masyarakat Indonesia sangat memprihatinkan, hanya 0,001 persen. Artinya, dari 1.000 orang Indonesia, cuma 1 orang yang rajin membaca.

Riset lain bertajuk World’s Most Literate Nations Ranked yang dilakukan oleh Central Connecticut State Univesity pada Maret 2016, mendaulat Indonesia untuk menduduki peringkat ke-60 dari 61 negara dalam hal minat membaca, persis berada di bawah Thailand (59) dan di atas Bostwana (61). Ironisnya, dari segi penilaian infrastuktur untuk mendukung membaca, peringkat Indonesia berada di atas negara-negara Eropa.

Hal itulah yang menjadi salah satu penyebab masyarakat di tanah air cenderung menerima informasi yang tidak utuh, sepotong-sepotong, bahkan mudah terhasut hoaks.

Baca juga: CSIS: UU Cipta Kerja cegah investasi tak berkualitas

Pendidikan Karakter
Masih rendahnya literasi masyarakat di tanah air menjadi kabar buruk di tengah upaya besar bangsa ini dalam membangun pondasi karakter sumber daya manusia (SDM)-nya.

Sebab jika saja masyarakat di tanah air sudah demikian teredukasi dengan tingkat literasi dan minat baca yang lebih baik, maka kericuhan dan perusakan fasilitas umum lantaran unjuk rasa menolak sebuah UU tak perlu terjadi.

Literasi ideal menuliskan bahwa sebuah UU dalam tata hukum di Indonesia hanya dapat dicabut atau dibatalkan melalui uji materi atau judicial review yang diajukan ke Mahkamah Konstitusi. Hingga hampir tidak mungkin ada UU yang batal lantaran aksi unjuk rasa.

Suatu peraturan perundang-undangan hanya dapat dicabut dan dinyatakan tidak berlaku oleh peraturan perundang-undangan yang tingkatannya sama atau lebih tinggi.

Pencabutan peraturan perundang-undangan dengan peraturan perundang-undangan yang tingkatannya lebih tinggi itu dilakukan jika peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi itu dimaksudkan untuk menampung kembali seluruh atau sebagian materi peraturan perundang-undangan lebih rendah yang dicabut itu (Lampiran II Nomor 158 dan 159 UU 12/2011).

Oleh karena itu, perlu upaya lebih besar untuk mendorong agar tingkat literasi masyarakat di tanah air meningkat. Sebab hal itu pula yang akan mendukung pengembangan karakter bangsa ini menjadi lebih baik ke depan.

Pendiri Indonesia Heritage Foundation (IHF) Ratna Megawangi menyampaikan karakter merupakan kunci kemajuan bangsa yang harus dibangun sejak anak usia dini agar mampu melahirkan generasi baik dan unggul.

“Karakter adalah yang menentukan nasib seluruh bangsa, karakter baik nasib sebuah bangsa pun juga akan menjadi baik,” kata Ratna Megawangi.

Karakter yang kuat akan menjadikan masyarakat lebih bijak dalam mengelola informasi dan dapat dengan baik membedakan kabar bohong dan berita absah yang akurat.

Provokasi pun kemudian hanya akan menjadi sejarah dan bahan pelajaran bagi bangsa dengan karakter yang telah matang dan dewasa.

Baca juga: Pengamat sebut UU Cipta Kerja dapat kurangi pungli sektor transportasi

Bonus Demografi
Pada 2030-2040, Indonesia diprediksi akan mengalami masa bonus demografi, yakni jumlah penduduk usia produktif (berusia 15-64 tahun) lebih besar dibandingkan penduduk usia tidak produktif (berusia di bawah 15 tahun dan di atas 64 tahun). Namun bonus demografi bisa menjadi pedang bermata dua bagi Indonesia.

Menteri ATR/Kepala BPN Sofyan Djalil yang telah beberapa periode menjabat sebagai menteri di pos yang berbeda-beda pernah menyatakan bahwa ada sesuatu yang hilang dalam sistem pendidikan di Indonesia.

Menurut dia, pendidikan karakter justru absen di tengah generasi muda di Indonesia sedang berjuang untuk mencari jati diri.

Sementara serangan budaya asing yang demikian gencar, warisan budi pekerti yang luhur tak begitu kuat menjadi fondasi bagi pembentukan karakter mereka.

Bonus demografi yang begitu besar pun justru menjadi ancaman ketika sebuah bangsa sebelumnya tak melakukan investasi untuk melakukan pendidikan karakter kepada generasi mudanya.

Ketika kembali merujuk pada UU Ciptaker maka solusi yang dapat disarankan adalah mengajak lebih banyak masyarakat untuk meningkatkan minat baca. Agar kemudian dapat bersama-sama mengkaji dan merumuskan pasal-pasal yang merugikan dalam UU Ciptaker dan kemudian mengajukan uji materi ke MK jika diperlukan.

Sebagaimana Ketua Komisi VI DPR RI Faisol Riza yang mengajak masyarakat untuk membaca kembali isi UU Ciptaker sebelum menentukan sikap.

Bahkan agama Islam mengajarkan umatnya untuk Iqro, bacalah. “Bacalah dengan nama Tuhanmu yang telah menciptakan.”

Baca juga: Kemenaker sebut publik dilibatkan dalam pembahasan UU Cipta Kerja

Editor: Joko Susilo
Copyright © ANTARA 2020