Jakarta (ANTARA News) - Ketua Komite Indonesia Bangkit Rizal Ramli mengatakan perjanjian perdagangan bebas ASEAN-China (ACFTA) yang berlaku sejak 2005 harus dinegosiasi ulang agar Indonesia bisa punya kesempatan untuk meningkatkan daya saingnya.

"AFTA adalah peluang karena banyak barang kita yang komplementer, sementara ACFTA itu harus direnegosiasi, kalau perlu diundur lima tahun," kata Rizal dalam sebuah diskusi di Jakarta, Selasa.

Menurut dia, dalam waktu lima tahun itu pemerintah harus mempersiapkan industri dalam negeri agar produknya bisa bersaing dengan produk China yang murah.

"Dalam lima tahun itu kita lakukan perubahan misalnya mempersiapkan industri yang lemah supaya produktifitasnya lebih tinggi," ujarnya.

Rizal menjelaskan beberapa langkah yang harus diambil pemerintah antara lain adalah mengubah kebijakan ekonomi yang saat ini dinilai lebih mengutamakan sektor keuangan dari pada sektor riil.

"Pemerintah harus mengganti garis (kebijakan) ekonomi yang sangat mendewakan sektor keuangan dan tingkat bunga yang tinggi menjadi tingkat bunganya rendah serta mengganti kebijakan nilai tukar yang terlalu menyerahkan pada pasar menjadi nilai tukar yang jauh lebih lemah," jelasnya.

Menurut Rizal, tanpa perubahan tersebut Indonesia hanya akan menjadi pemasok bahan mentah dan bahan baku bagi industri manufaktur China dan menjadi pasar produk-produk China yang murah.

"Kalau ada perubahan garis dan arah itu baru Indonesia bisa menarik manfaat dari FTA dengan China," ujarnya.

Rizal yang mantan Menteri Koordinator Perekonomian pada masa Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) itu mengatakan produk China selama ini bisa sangat bersaing dengan produk manapun di dunia karena kebijakan pemerintahnya yang sangat mendukung industri dalam negerinya.

"Nilai tukar China sengaja dibuat lebih murah dan lemah harga jual ekspornya menjadi lebih murah di negara lain," tuturnya.Tingkat bunga kredit di China juga sangat murah dibanding Indonesia sehingga industrinya sangat bergairah untuk terus berekspansi.

Rizal mencontohkan, selisih bunga kredit dan simpanan di Indonesia mencapai tujuh persen sementara di China bunga pinjamannya bisa hanya satu persen.

Selain perbedaan kebijakan nilai tukar dan bunga perbankan, China juga memiliki keunggulan dalam hal produktivitas pekerjanya yang lebih tinggi dengan tingkat upah yang sama murahnya dengan di Indonesia.

Menurut Rizal, Indonesia tidak bisa mengandalkan produk pertanian dan perkebunan meski Indonesia lebih unggul dibanding China. "Kalau kita hanya mengandalkan produk pertanian dan perkebunan, kita hanya akan kembali ke struktur ekonomi kolonial, yaitu menjadi sumber bahan baku dan pasar produk murah saja," katanya.

Rizal mengingatkan jika pemerintah membiarkan terbentuknya struktur ekonomi kolonial itu maka masyarakat kelas menengah di Indonesia tidak akan terbentuk. Yang ada hanya dua kelompok masyarakat yaitu 20 persen yang mampu dan sisanya masyarakat miskin.(*)

Pewarta: Luki Satrio
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2010