Jakarta (ANTARA News) - Kepala Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia Prof. Suahasil Nazara menilai perjanjian perdagangan bebas antara ASEAN dengan China (ACFTA) merupakan peluang perdagangan yang penuh ancaman.

"Walaupun banyak ancaman, tapi ini (ACFTA) tetap peluang bagi perdagangan Indonesia," kata Suahasil dalam sebuah diskusi di Jakarta, Selasa.

Menurut dia, dampak ACFTA harus dilihat secara komprehensif terhadap konsumen dan produsen. "Bagi konsumen dengan terbukanya pasar berarti barang makin banyak, pilihan makin banyak jadi kemungkinan harga sekamkin murah," ujarnya.

Sementara itu, produsen akan menghadapi persaingan yang semakin ketat dengan turunnya tarif bagi produk-produk China. "Yang tidak siap seharusnya disiapkan sejak 7-8 delapan tahun yang lalu," tuturnya.

Suahasil menilai selama ini sosialisasi FTA yang dilakukan pemerintah tidak cukup membuat industri lokal lebih berdaya saing. "Yang dibutuhkan bukan cuma sosialisasi tapi juga perbaikan iklim usaha," tambahnya.

Pekerjaan rumah pemerintah lainnya seperti pembangunan infrastruktur, perbaikan proses perizinan, serta aturan perpajakan seharusnya sudah diselesaikan sebelumnya.

Pakar Hubungan Internasional Universitas Indonesia, Syamsul Hadi mengatakan, ancaman banjirnya produk China ke pasar dalam negeri Indonesia merupakan tantangan dan PR bagi Indonesia.

Syamsul mengingatkan pemerintah akan ancaman hilangnya lapangan pekerjaan formal karena tutupnya perusahaan manufaktur akibat produknya kalah bersaing dengan produk China.

"Sekarang ini sekitar 62 persen dari tenaga kerja kita bekerja di sektor informal seperti usaha kecil menengah. Ketika perusahaan ditutup dan industri menjadi importir saja, akan semakin banyak porsi tenaga kerja informal di Indonesia," tuturnya.

Syamsul mencontohnya pangsa pasar industri tekstil dan produk tekstil (TP) Indonesia di dalam negeri yang saat ini semakin menurun. Pada 2005, penguasaan industri TPT lokal terhadap pasar domestik mencapai 57 persen namun anjlok menjadi 23 persen pada 2008."Bagaimana kalau tarif produk itu menjadi nol persen?" ujarnya.(*)

Pewarta:
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2010