Jakarta (ANTARA News) - Persatuan Perusahaan Kosmetik Indonesia (Perkosmi) dan Gabungan Pengusaha (GP) Jamu meminta penundaan pelaksanaan pasar perdagangan bebas ASEAN-China (Free Trade Area/FTA ASEAN -China).

"Kita minta penundaan hingga ada sistem pengawasan yang ketat atas produk impor jamu dan kosmetik terutama dari China," kata Ketua Bidang Industri Perkosmi, Putri K. Wardani, kepada Antara, di Jakarta, Minggu.

Menurut Putri, sisi mutu pengawasan produk jamu dan kosmetik yang beredar di tanah air menjadi tugas Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM).

BPOM bertanggung jawab mencari tahu dan menetapkan apakah produk yang beredar merupakan barang ilegal ataukah legal , ataupun barang tersebut berbahaya jika dikonsumsi ataukah tidak .

Sedangkan dari sisi legalitas, perlu pengawasan oleh aparat Ditjen Bea Cukai.FTA ASEAN -China mulai berlaku 1 Januari 2010, namun sejak perjanjian ditandatangani belum seluruh sektor mampu bersaing.

Sebelumnya, Kantor Menko Perekonomian menyebutkan, dari sekitar 2.500 sektor usaha di Indonesia, terdapat 303 sektor yang belum siap dalam FTA.

Selain kosmetik, produk yang tidak mampu bersaing antara lain tekstil, baja, elektronika, ban, mebel, pengolahan kakao, industri alat kesehatan, aluminium, petrokimia hulu, kaca lembaran, sepatu, mesin perkakas, dan kendaraan bermotor.

"Kami bukan tidak siap. Tetapi masalahnya produk kami harus bersaing dengan barang ilegal dari China yang lebih murah namun kualitasnya tidak dapat dipertanggungjawabkan," katanya.

Putri yang juga CEO PT Mustika Ratu itu menjelaskan, pada tahun 2008 nilai perdagangan produk kosmetik di tanah air mencapai sekitar Rp30 triliun per tahun, sedangkan jamu berkisar Rp6 triliun-Rp7 triliun.

Volume peredaran kosmetik asal China di tanah air mendekati 50 persen, artinya pangsa pasar kosmetik produksi dalam negeri semakin tergerus.

Tingginya pangsa pasar kosmetik asal luar negeri terutama China, karena harganya yang sangat murah dibanding barang sejenis hasil produksi dalam negeri.

"Barang-barang merek China yang masuk ke Indonesia umumnya tidak memiliki label keterangan produk, padahal jika barang dari kita (Indonesia) masuk ke luar negeri selalu sempurna dan menyertakan panduan penggunaan. Jadi jelas tidak ada azas keseimbangan," katanya. (*)

Pewarta:
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2009