Jakarta (ANTARA) - Anggota Komisi II DPR RI Fraksi Partai Golkar Zulfikar Arse Sadikin menilai penghitungan dan pemilihan suara secara manual lebih mengedepankan asas keterbukaan (transparansi) daripada menggunakan sistem elektronik atau "e-voting".

Karena itu menurut dia, sistem pemungutan suara manual lebih baik dimasukkan dalam aturan Rancangan Undang-Undang (RUU) Pemilu daripada menggunakan sistem "e-voting".

"Saya mendukung sistem manual karena menerapkan asas keterbukaan, kalau rekap elektronik silahkan saja tinggal nanti diperbaiki," kata Zulfikar di Jakarta, Kamis.

Dia mengakui memang dalam pelaksanaan Pemilu dibutuhkan kecepatan dalam penghitungan suara namun juga membutuhkan keterbukaan yang bisa menjamin kepercayaan masyarakat atas hak suaranya yang telah diberikan.

Menurut dia, sistem penghitungan suara manual yang selama ini telah diterapkan di Indonesia mampu membuat semua orang terlibat mengikuti dan memantau prosesnya yang berjalan.

Baca juga: F-PKB: "Parliamentary threshold" dibicarakan bersamaan sistem pemilu
Baca juga: PPP khawatir PT naik, keragaman politik Indonesia terkikis
Baca juga: Komisi II: Ada kecenderungan fraksi turunkan ambang batas presiden


"Di sisi lain, bicara 'e-voting' maka terkait dengan kepercayaan, apakah teknologi yang digunakan sudah siap dan terpercaya. Di beberapa negara yang sudah maju sistem demokrasi malah kembali menggunakan manual tidak lagi elektronik," ujarnya.

Politisi Partai Golkar itu menilai untuk mengatasi kecepatan dalam pemungutan dan penghitungan suara dalam pemilu akan teratasi dengan merujuk keputusan Mahkamah Konstitusi nomor 55/PUU-XVII/2019 terkait keserentakan pemilu yang meminta agar pelaksanaan pemilu dipisah yaitu nasional dan daerah.

Menurut dia, sesuai Putusan MK itu keserentakan pemilu yang dianggap konstitusional yaitu seperti yang dilaksanakan pada Pemilu 2019 yaitu DPR RI, DPD RI, dan Presiden-Wakil Presiden.

"Karena yang mutlak itu tiga dan yang lain tergantung pembentuk UU, kami mengusulkan lokal yaitu DPRD kabupaten/kota dan provinsi," katanya.

Karena itu dia mengusulkan adanya pemisahan pemilu mengikuti Putusan MK sehingga proses pemungutan dan penghitungan suara bisa berjalan lebih cepat karena hanya tiga kotak yaitu DPR RI, DPD RI, dan Presiden-Wakil Presiden.

Keserentakan Pemilu tersebut mengacu pada Putusan Mahkamah Konstitusi nomor 55/PUU-XVII/2019 yang di dalamnya memuat enam varian model pemilu serentak untuk digagas oleh pengubah UU sesuai dengan ketentuan UUD 1945.

Keenam varian tersebut yaitu pertama, pemilu serentak untuk memilih anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, DPRD kabupaten/kota, dan presiden. Kedua, pemilu serentak untuk memilih anggota DPR, DPD, presiden, gubernur, bupati, dan wali kota. Ketiga, pemilu serentak untuk memilih anggota DPR, DPD, DPRD provinsi dan kabupaten/kota, presiden, gubernur, bupati, dan wali kota.

Keempat, pemilu serentak nasional untuk memilih anggota DPR, DPD, dan presiden, dan beberapa waktu setelahnya pemilu serentak lokal untuk memilih anggota DPRD provinsi dan kabupaten/kota, gubernur, bupati, dan wali kota.

Kelima, pemilu serentak nasional untuk memilih anggota DPR, DPD, dan presiden, dan beberapa waktu setelahnya pemilu serentak provinsi untuk memilih DPRD provinsi dan gubernur, dan beberapa waktu setelahnya pemilu serentak kabupaten/kota untuk memilih anggota DPRD kabupaten/kota dan bupati/wali kota.

Keenam, pilihan-pilihan keserentakan lain sepanjang tetap menjaga sifat keserentakan pemilihan umum untuk memilih anggota DPR, DPD, dan Presiden/Wakil Presiden.

Pewarta: Imam Budilaksono
Editor: M Arief Iskandar
Copyright © ANTARA 2020