Jayapura (ANTARA News) - Salah seorang tokoh perempuan Papua, Heemskercke Bonay, mengecam keras tayangan stasiun TV "Metro TV" mengenai kegiatan upacara pengibaran bendera Bintang Kejora di Abepura, Papua, beberapa waktu lalu.

Menurut Bonay, tayangan itu justru dapat berakibat fatal yakni menyuburkan benih separatisme di Papua, sekaligus mengerdilkan nasionalisme rakyat Papua dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

"Metro TV pada Jumat ini pukul 18.00 WIT sampai 18.30 WIT menayangkan upacara pengibaran bendera Bintang Kejora. Suatu tayangan dengan durasi yang lama tanpa memiliki tujuan yang jelas bagi pendidikan politik rakyat Papua dalam bingkai NKRI," katanya di Jayapura, Jumat.

Menurut dia, tayangan yang terlalu lama dengan komentar reporter Desi Fitriani yang terkesan kuat mengarah kepada lepasnya Papua dari NKRI telah menimbulkan rasa tidak simpatik warga Papua terhadap stasiun TV itu.

Pada satu sisi, lanjutnya media tersebut mungkin saja ingin menyampaikan realitas di tanah Papua bahwa masih ada sekelompok warga Papua yang menginginkan kemerdekaan Papua lepas dari NKRI.

Tetapi, karena dikemas secara kurang bijaksana dan tidak hati-hati maka kesan yang sangat kuat dari tayangan ini adalah reporter Metro TV secara sadar atau tidak sadar, telah ikut menyuburkan benih-benih separatisme di wilayah paling timur dari NKRI ini.

Perlu diketahui bahwa, gagasan Metro TV untuk menayangkan kegiatan pengibaran bendera Bintang Kejora di salah satu wilayah di Papua, mungkin saja bertujuan baik, namun kenyataannya, tayangan tersebut tidak sepenuhnya dan tidak seluruhnya bisa dipahami secara baik dan benar oleh sebagian besar rakyat di tanah Papua.

Rakyat Papua dengan tingkat pendidikan, profesi, usia dan pengalaman hidup yang berbeda-beda telah memberikan penafsiran yang berbeda-beda pula mengenai isi tayangan Metro TV seputar pengibaran bendera Bintang Kejora itu yang oleh sekelompok warga Papua dijadikan lambang perjuangan kemerdekaan Papua.

"Media ingin menyatakan realitas keberadaan OPM/TPN di tanah Papua tetapi jangan sampai kebablasan yang akhirnya secara tidak langsung media pun ikut membesarkan dan memperkuat akar perjuangan kelompok separatis tersebut," katanya mengingatkan.

Putri sulung Eliezer Yan Bonay yang merupakan mantan Gubernur pertama Irian Barat yang digelar Gubernur Integrasi Papua itu mengingatkan kepada semua insan pers di tanah Papua dan di wilayah lain di Nusantara ini agar dalam menjalankan tugas jurnalistik di tanah Papua, tidak sampai menggadaikan nasionalisme Indonesia hanya karena ingin mencapai tujuan komersial dari media itu sendiri.

"Pengalaman pahit bangsa Indonesia yang tak terlupakan adalah,media dan wartawan Indonesia secara sadar atau pun tidak sadar, telah ikut melepaskan Timor Timur dari NKRI. Tetapi pengalaman manis pun membuktikan, media dan wartawannya telah ikut menciptakan perdamaian di tanah Nangroe Aceh Darussalam dan telah pula memperkuat pilar keutuhan Aceh dalam pangkuan ibu pertiwi Indonesia," katanya.

Sementara itu, salah seorang eks pengungsi Timor Timur yang bermukim di Papua, Theodorus mengingatkan media massa khususnya Metro TV agar lebih berhati-hati dan bijaksana jika melakukan peliputan di Papua seputar kegiatan kelompok OPM/TPN agar tidak mengundang seribu satu penafsiran dari rakyat sekaligus menyuburkan benih separatisme di tanah Papua.

"Kami sudah mengungsi dari Timor Timur dan kini hidup tenang di tanah Papua sehingga kami tidak ingin lagi mengungsi untuk kedua kalinya dari tanah Papua hanya karena tindakan keliru dari para wartawan. Jika ini yang terjadi maka pupuslah sudah cita-cita Proklamasi Kemerdekaan RI 17 Agustus 1945 di tanah Papua. Jangan korbankan rakyat Papua hanya karena ambisi pribadi atau kelompok," katanya.
(*)

Pewarta:
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2009