Jakarta (ANTARA) - Senin (6/4) pagi, 47 hakim agung berkumpul di Ruang Koesoemah Atmadja, Gedung Mahkamah Agung, Jakarta, untuk menentukan pucuk pimpinan yang baru lembaga yudikatif itu.

Pasalnya Ketua Mahkamah Agung dua periode, 2012-2017 dan 2017-2022, Mohammad Hatta Ali yang memimpin sejak 8 tahun lalu akan memasuki masa pensiun pada 1 Mei 2020. Ia akan berusia 70 tahun pada 7 April 2020.

Sebanyak enam nama muncul sebagai calon ketua Mahkamah Agung yang dipilih oleh 46 hakim agung, sementara satu suara, yakni Hatta Ali, abstain untuk menunjukkan objektivitas menjelang masa purna tugas.

Enam nama tersebut adalah Muhammad Syarifuddin yang memperoleh 22 suara, disusul Andi Samsan Nganro 14 suara, Sunarto 5 suara, Amran Suadi 1 suara, Supandi 1 suara dan Suhadi 1 suara.

Tidak adanya calon terpilih memenuhi 50 persen ditambah 1 suara yang sah dalam putaran pertama, menyebabkan harus dilakukan putaran kedua untuk memilih dua calon dengan suara terbanyak.

Selanjutnya dalam putaran kedua, Syarifuddin memperoleh 32 suara, sementara Andi Samsan Nganro tetap memperoleh 14 suara sehingga.

Berdasarkan ketentuan keputusan Ketua Mahkamah Agung RI Nomor 96/KMA/SK/IV/2020 tentang tata tertib pemilihan Ketua Mahkamah Agung RI berdasarkan Pasal 7 huruf 1, calon ketua Mahkamah Agung yang mendapat suara terbanyak dalam putaran kedua, langsung ditetapkan sebagai ketua Mahkamah Agung terpilih.

Selanjutnya, nama Syarifuddin akan diserahkan kepada Presiden untuk dilantik sebagai Ketua Mahkamah Agung periode 2020-2025.

"Selesai sudah demokrasi kecil a la Mahkamah Agung, saya harapkan mulai hari ini pula tidak ada lagi perbedaan pendapat, dukung mendukung di antara kita. Kita kembali bersatu padu, bahu membahu, kerja keras," ujar pria kelahiran Baturaja, 17 Oktober 1954 itu dalam sambutannya, setelah ditetapkan sebagai Ketua Mahkamah Agung.

Dari hakim karier

Syarifuddin yang dilantik menjadi hakim agung sejak 18 Februari 2013 itu mengawali kariernya sebagai hakim.

Ia pernah menjadi Wakil Ketua Pengadilan Negeri (PN) Muara Bulian, Ketua PN Padang Pariaman, Ketua PN Baturaja, Wakil Ketua PN Bandung, Ketua PN Kelas 1A Khusus Bandung, Hakim Tinggi Pengadilan Tinggi (PT) Palembang, Kepala Badan Pengawasan MA, Hakim Agung dan Ketua Kamar Pengawasan MA.

Selanjutnya sejak Mei 2016 ia terpilih dalam sidang paripurna khusus sebagai Wakil Ketua Mahkamah Agung Bidang Yudisial.

Sementara untuk pendidikan, pada 1980, ia memperoleh gelar sarjana hukum dari UII Yogyakarta, kemudian ia menempuh pendidikan Magister Hukum di Universitas Djuanda pada 2006. Selanjutnya ia mendapat gelar Doktor Ilmu Hukum dari Universitas Katolik Parahyangan pada 2009.

Prinsip yang dipegangnya adalah hari ini harus lebih baik dari hari kemarin dan hari esok harus lebih baik dari hari ini. Apalagi dalam menyambut tugas dan tanggung jawab agar Mahkamah Agung dan badan peradilan menjadi lebih baik.

Dengan rendah hati, Syarifuddin meminta bantuan seluruh hakim agung dan jajaran badan peradilan untuk membantunya mewujudkan badan peradilan yang lebih baik.

Ia juga mengakui pemegang tongkat estafet kepemimpinan sebelumnya, Hatta Ali, merupakan Bapak Pembaharuan Bangsa khususnya bagi Mahkamah Agung dan badan peradilan karena sudah membawa kemajuan dan perubahan luar biasa terhadap sistem peradilan.

"Saya tidak lebih baik dari bapak ibu semua. Oleh karena itu, tanpa bantuan dan kerja keras serta kerja sama yang baik dari bapak ibu semua sebagaimana yang telah bapak ibu berikan kepada Yang Mulia Hatta Ali juga diharapkan diberikan kepada saya dan lebih ditingkatkan lagi," ujar Syarifuddin.

Dengan pola-pola perubahan baru, ia mengaku optimistis dapat mencapai visi misi "Mewujudkan Badan Peradilan yang Agung" sebelum 2035 seperti yang tertera dalam Cetak Biru Pembaruan Peradilan 2010-2035.

Masih ada pekerjaan rumah

Meski dinilai sebagai institusi paling reformis dibanding lembaga penegak hukum lain, Mahkamah Agung dinilai tetap memiliki sejumlah pekerjaan rumah karena badan peradilan masih memiliki kekurangan.

Koalisi Pemantau Peradilan menyebut masyarakat Indonesia belum sepenuhnya menikmati layanan pengadilan yang independen dan kompeten.

Perhimpunam Bantuan Hukum dan HAM Indonesia (PBHI) menyebut masih kerap terjadi pungutan liar di pengadilan. Yang terbaru pada 2019, Tim Saber Pungli Badan Pengawasan MA berhasil melakukan operasi tangkap tangan (OTT) terhadap Panitera PN Jepara dan Panitera Muda Perdata PN Wonosobo.

"Belum lagi berbagai pungutan liar lain yang terjadi di pengadilan dan dialami oleh para pencari keadilan dan penasihat hukumnya," papar Sekjen PBHI Julius Ibrani.

Standar layanan keadilan pun mendapat catatan, misalnya, penyampaian salinan putusan masih berlarut-larut dan melampaui waktu 14 hari seperti yang diatur undang-undang.

Selain itu, juga pelaksanaan sidang sering kali molor berjam-jam, tidak sesuai dengan waktu yang disebutkan dalam panggilan sidang.

Pekerjaan rumah Ketua Mahkamah Agung baru selanjutnya adalah masih adanya pejabat pengadilan yang tertangkap tangan menerima suap.

Selama masa kepemimpinan Hatta Ali, terutama pada periode kedua, hakim yang terkena OTT antara lain Hakim PN Balikpapan (2019), Hakim Ad Hoc Tipikor PN Medan (2018), Hakim PN Tangerang (2018).

Selanjutnya Panitera Pengganti PN Tangerang (2018), Ketua PT Manado (2017), Hakim Ad Hoc Tipikor pada PN Bengkulu (2017), Panitera Pengganti Pengadilan Tipikor pada PN Bengkulu (2017), dan Panitera Pengganti PN Jakarta Selatan (2017).

"Sebagian masalah tersebut bersifat sangat mendasar dan sering terjadi dalam penyelenggaraan proses peradilan di pengadilan," tutur Julius.

Editor: Chandra Hamdani Noor
Copyright © ANTARA 2020