Proteksionisme bisa saja membawa keuntungan jangka pendek tapi dalam jangka panjang tidak akan membantu pertumbuhan ekonomi global yang berkeadilan
Jakarta (ANTARA) - Presiden Joko Widodo memimpin langsung pertemuan forum Indonesia-Australia Business Roundtable yang mempertemukan para pengusaha Indonesia dan Australia di Canberra pada pekan kedua Februari 2020.

Presiden Jokowi dalam pertemuan itu didampingi Menteri Koordinator bidang Perekonomian Airlangga Hartarto, Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum dan Keamanan Mahfud MD, Menteri Perdagangan Agus Suparmanto, Menteri Luar Negeri Retno Marsudi, Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi, Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko dan Kepala Badan Koordinator Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia.

Hadir juga sejumlah pengusaha Indonesia seperti Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Rosan P Roeslani, Ketua Umum Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (Hipmi) Maradani Maming, Wakil Ketua Hipmi Eka Sastra, Wakil Ketua Umum KADIN Shinta Widjaja Kamdani, Ketua Umum Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia (GAPMMI) Adhi S Lukman, "Acting Chairman" Australia Bilateral Committee George Iwan Marantika serta pengusaha lain di bidang peternakan sapi, juga perwakilan dari Grup Salim.

Mereka bertemu dengan sekitar 20 pengusaha Australia di bidang energi, pendidikan, hingga makanan dan minuman.

Baca juga: Babak baru kemitraan Indonesia dan Australia


Dalam sambutan singkatnya menggunakan bahasa Inggris, Presiden Jokowi mengajak para pengusaha Australia berinvestasi di Indonesia, terlebih karena pemerintah sedang menyusun "omnibus law" untuk menciptakan iklim investasi yang kondusif.

"Saya berjanji untuk terus menciptakan iklim investasi yang lebih baik. Kali ini saya akan mencoba dengan memperkenalkan 'omnibus law'. 'Ominibus law' akan menyederhanakan banyak regulasi dan menciptakan iklim investasi yang kondusif," kata Presiden Jokowi.

Pertemuan itu memang menindaklanjuti Kesepakatan Kemitraan Ekonomi Komprehensif Indonesia-Australia atau Indonesia-Australia Comprehensive Economic Partnership Agreement (IA-CEPA) yang telah diratifikasi DPR RI pada 6 Februari 2020.

"Kami akan menyelesaikan 'omnibus law' pada semester pertama 2020, sangat cepat," tambah Presiden.

Menurut Presiden, ada lima prioritas dalam periode pemerintahannya yang kedua yaitu pembangunan sumber daya manusia, keberlanjutan pembangunan infrastruktur, penyederhanaan regulasi, penyederhanaan birokrasi dan transformasi ekonomi dari yang tadinya hanya memproduksi bahan mentah menjadi barang jadi atau setengah jadi.

Presiden Jokowi juga memamerkan masifnya pembangunan infrastruktur seperti jalan tol, bandara, pelabuhan dan pembangkit listrik yang dilakukan dalam lima tahun terakhir. Pembangunan infrastruktur itu juga menjadi modal jangka panjang bagi pertumbuhan ekonomi dan modal lainnya adalah pembangunan SDM.

Saat ini, menurut Presiden Jokowi, dunia penuh dengan ketidakpastian termasuk meningkatnya penerapan proteksionisme.

"Proteksionisme bisa saja membawa keuntungan jangka pendek tapi dalam jangka panjang tidak akan membantu pertumbuhan ekonomi global yang berkeadilan dan saya bersyukur Indonesia dan Australia sama-sama punya pandangan untuk membentuk ekonomi yang terbuka," tambah Presiden.

Presiden pun meminta implementasi IA-CEPA dapat bermanfaat bagi rakyat kedua negara dan menjadi win-win solutions.

"Karena itu IA-CEPA bukan hanya menghilangkan tarif di antara kedua negara tapi juga membuka kesempatan investasi bagi Australia di berbagai bidang. Saya juga berharap membuka arus masuk masyarakat kedua negara. Secara keseluruhan, ikatan ekonomi kita cukup kuat tapi kita perlu menggali lebih banyak potensi kerja sama lagi dan IA-CEPA dapat jadi pemicu untuk mendorong peningkatan hubungan ekonomi yang fokus pada hal-hal konkrit," jelas Presiden.

Hal-hal konkret tersebut, juga sudah disampaikan Presiden dalam pernyataan pers bersama dengan Perdana Menteri Australia Scott Morrison di Gedung Parlemen Australia di Canberra.

"Indonesia mendorong program 100 hari implementasi IA-CEPA dapat dilakukan antara lain dengan pelaksanaan Australia Business Week yang dipimpin oleh Menteri Perdagangan Australia ke indonesia, juga dengan kunjungan major private investor Australia ke Indonesia," kata Presiden.

Presiden menyampaikan hal tersebut setelah pertemuan tête-à-tête di Prime Minister's Suite, Indonesia-Australia Annual Leader's Meeting (ALM). Kedua pemimpin pemerintahan itu juga menyaksikan penandatanganan dua nota kesepahaman (Memorandum of Understanding/MoU) yaitu Plan of Action of Indonesia-Australia Comprehensive Strategic Partnership yang ditandatangani oleh Menlu RI dan Menlu Australia dan MoU concerning Transportation Security Cooperation yang ditandatangani oleh Menhub RI dan Menhub Australia.

"Juga kerja sama infrastruktur di Indonesia serta kerja sama di bidang pendidikan dalam rangka pengembangan sumber daya manusia sudah disampaikan tadi oleh PM Scott Morrison mengenai akan dibukanya Monash University di Indonesia," ungkap Presiden.

Baca juga: Presiden Jokowi: IA-CEPA tingkatkan keterbukaan perdagangan-investasi


Presiden Jokowi berharap melalui IA-CEPA, Australia menjadi mitra penting Indonesia di bidang investasi, infrastruktur dan pendidikan.

Melalui ratifikasi IA-CEPA, menurut Presiden Jokowi, hubungan ekonomi kedua negara secara komprehensif akan lebih maju dan harus lebih dirasakan manfaatnya untuk rakyat kedua negara.

 
Presiden Joko Widodo menyampaikan pernyataan pers bersama dengan Perdana Menteri Australia Scott Morrison di Gedung Parlemen di Canberra, Australia, Senin (10/2/2020) (Desca Lidya Natalia)



Sedangkan PM Scott Morrison menyampaikan 100 hari rencana aksi implementasi IA-CEPA menjadi momentum untuk mempercepat kerja sama bagi kedua negara.

"Kesepakatan ini saling menguntungkan karena di satu sisi mengintegrasikan ekonomi kita agar dapat tumbuh pada dekade mendatang. Indonesia akan menjadi salah satu bintang perekonomian dunia dalam 10-20 tahun mendatang dan dengan kesepakatan ini dapat dipastikan ekonomi kita terkoneksi," ungkap PM Morrison.

PM Morrison pun menyatakan bahwa akan ada pembicaraan langsung antara Menteri Dalam Negeri Australia dengan mitranya di dalam negeri, selanjutnya dibahas juga persoalan mengenai izin masuk ke Australia serta kerja sama di bidang energi.

"Monash University juga akan membuka kampus pertama di luar negeri di Indonesia berdasarkan kesepakatan ini, selain itu kami juga akan melihat kesempatan untuk dana pensiun Australia dapat berinvestasi di Indonesia seperti dilakukan di beberapa negara lain, ini adalah contoh implementasi IA-CEPA," kata PM Morrison.

Baca juga: Presiden Jokowi ajak pengusaha Australia investasi di Indonesia


Menuju 2050

Kunjungan Presiden Jokowi ke Australia pada 8-10 Februari 2020 tersebut memang menandai 70 tahun hubungan diplomatik Indonesia-Australia. Namun Presiden Jokowi mengingatkan bahwa relasi tersebut masih akan berumur panjang bahkan hingga 2050 dan seterusnya.

"Usia 70 tahun persahabatan Indonesia dan Australia bukanlah waktu yang sebentar. 70 tahun adalah masa platinum. Sebuah platinum persahabatan yang kokoh, bukan saja persahabatan antarpemerintah dan antarparlemen tetapi juga rakyat kedua negara," kata Presiden Jokowi di Gedung Parlemen, Canberra, Australia.

Selama sekitar 16 menit, Presiden Jokowi menyampaikan pidato dalam bahasa Indonesia di hadapan dua kubu parlemen yaitu dari koalisi Partai Liberal dan koalisi Partai Buruh. Sebelum Presiden Jokowi berpidato, Ketua Partai Liberal sekaligus PM Australia Scott Morrison serta Ketua Partai Buruh Australia Anthony Albanese juga menyampaikan pidato mengenai hubungan kedua negara.

"Kita harus bersama-sama mempersiapkan saat kemitraan Indonesia-Australia berumur 100 tahun atau 30 tahun, 3 dekade dari sekarang," ungkap Presiden.

Pada 2050, menurut Presiden, adalah perjalanan satu abad umur kemitraan Indonesia-Australia menjadi momen krusial.

"Pada tahun Indonesia dan Australia akan bertransformasi menjadi pemain besar di kawasan dan dunia. Menurut 'Price Waterhouse Coopers' misalnya, pada tahun 2050 Indonesia akan menjadi ekonomi terbesar ke-4 dengan PDB (Pendapatan Domestik Bruto) sekitar 10,5 triliun dolar AS," tambah Presiden.

Indonesia juga akan menjadi negara emerging market dengan jumlah kelas menengah terbesar ketiga di dunia.

"Namun di lain sisi, tahun 2050 dunia diprediksi semakin dipenuhi ketidakpastian. Jika tren saat ini berlanjut, maka dunia pada tiga dekade mendatang akan semakin terdisrupsi.
Situasi geo-politik dan geo-ekonomi dunia semakin berat. Stagnasi pertumbuhan ekonomi bahkan resesi ekonomi dunia sulit dihindari. Dikhawatirkan, nilai demokrasi dan kemajemukan akan termarjinalkan," jelas Presiden

Salah satu upaya untuk mempererat relasi kedua negara menyambut  seabad hubungan Indonesia-Australia adalah melalui generasi muda.

"Jangkar kemitraan Indonesia dan Australia pada tahun 2050, atau tiga dekade dari sekarang adalah generasi muda kita," kata Presiden.

Presiden Joko Widodo pun menawarkan konsep "Ausindo Wave" bagi generasi muda kedua negara.

"Saya ingin menawarkan 'Ausindo Wave' Australia-Indonesia Wave bagi generasi muda Indonesia dan Australia. Kita harus tawarkan tren kedekatan Indonesia-Australia kepada generasi muda, menggelorakan kecintaan generasi muda Australia kepada Indonesia, dan sebaliknya, kecintaan generasi muda Indonesia kepada Australia. Investasi pada generasi muda akan memperkokoh kemitraan Indonesia dan Australia ke depan. Kita sudah memiliki modal yang besar. Saat ini, terdapat 160 ribu siswa Australia belajar bahasa Indonesia dan 21 ribu pemuda Indonesia belajar di Australia," ungkap Presiden.

Jika hal itu terus dilakukan maka Kemitraan Indonesia-Australia pada tahun 2050 atau tepat satu abad umur kemitraan kedua negara akan bermanfaat bukan saja bagi rakyat kedua negara, tapi bagi dunia.

"Kaum muda Australia dan Indonesia memiliki kesamaan. Indonesia saat ini memasuki bonus demografi, jumlah anak muda usia 16-30 tahun sebanyak 63 juta atau 24 persen dari total populasi. Kebanyakan mereka berwawasan global ingin berkolaborasi untuk berinovasi," ungkap Presiden.

Baca juga: Presiden ibaratkan kemitraan Indonesia-Australia sebagai the Avengers


IA-CEPA

DPR RI memang sudah meratifikasi UU Kemitraan Ekonomi Komprehensif Indonesia-Australia atau Indonesia-Australia Comprehensive Economic Partnership Agreement (IA-CEPA) pada 6 Februari 2020. Ratifikasi itu menyusul penandatanganan kesepakatan IA-CEPA kedua negara yang dilakukan pada 4 Februari 2019 yang sudah dibicarakan selama sembilan tahun.

Dalam perjanjian yang telah ditandatangani tersebut, Indonesia akan memangkas bea impor sebesar 94 persen untuk produk asal Negeri Kanguru secara bertahap. Sebagai gantinya 100 persen bea impor produk asal Indonesia yang masuk ke Australia akan dihapus.

Salah satu keuntungan Indonesia, antara lain dihapuskannya bea masuk impor seluruh pos tarif Australia sebanyak 6.474 pos menjadi nol persen.

Produk-produk Indonesia yang ekspornya berpotensi meningkat adalah produk otomotif, khususnya mobil listrik dan hybrid sebab IA-CEPA memberikan persyaratan kualifikasi konten lokal yang lebih mudah untuk kendaraan listrik dan hybrid asal Indonesia dibandingkan negara lainnya.

Produk-produk Indonesia lain yang berpotensi meningkat ekspornya yaitu kayu dan turunannya termasuk furnitur, tekstil dan produk tekstil, ban, alat komunikasi, obat-obatan, permesinan dan peralatan elektronik.

Selain itu, di sektor perdagangan jasa, Indonesia akan mendapatkan akses pasar di Australia seperti kenaikan kuota visa kerja dan liburan yaitu dari 1.000 visa menjadi 4.100 visa di tahun pertama implementasi IA-CEPA dan akan meningkat sebesar lima persen di tahun-tahun berikutnya.

Indonesia juga akan mendapatkan berbagai program peningkatan kualitas sumber daya manusia, seperti program magang yang dibuat berdasarkan kebutuhan sektor industri dan ekonomi Indonesia, namun berkaitan langsung dengan investasi Australia di sektor pendidikan kejuruan.

Investasi Australia di Indonesia pada 2018 diketahui mencapai 597,4 juta dolar AS dengan 635 proyek terdiri lebih dari 400 perusahaan Australia yang beroperasi di berbagai sektor seperti pertambangan, pertanian, infrastruktur, keuangan, kesehatan, makanan, minuman dan transportasi.

Sementara perdagangan Indonesia-Australia pada 2018 menurut data Kementerian Perdagangan totalnya mencapai 8,62 miliar dolar AS dengan ekspor Indonesia ke Australia mencapai 2,8 miliar dolar AS dan impor 5,82 miliar dolar AS alias Indonesia mengalami defisit perdagangan hingga 3,02 miliar dolar AS.

Harapannya dengan IA-CEPA tersebut, nominal investasi maupun perdagangan kedua negara dapat meningkat.

"Selama ini investasi dari Australia jumlahnya tidak masuk ke dalam 5 besar sekitar 400-700 juta dolar AS, dengan IA-CEPA diharapkan dapat membangkitkan minat Australia. Sedangkan trade balance Indonesia Australia, sebenarnya yang diuntungkan pihak australia tentu diharapkan dengan IA-CEPA walau biaya masuknya diturunkan rata-rata dari lima persen menjadi nol persen itu yang akan bisa didorong tekstil dan otomotif," kata Menteri Koordinator bidang Perekonomian Airlangga Hartarto.

Produk Indonesia yang ditargetkan masuk ke Australia adalah produk-produk otomotif.

"Produk otomotif, mereka (Australia) punya demand 1,1 juta dan produk-produk seperti kendaraan komersial, seperti truk dan SUV sangat diminati. Indonesia punya kapasitas dan tinggal bicara produsen-produsen di Indonesia bisa mempercepat baik hybrid dan elektronik seperti yang tercantum di IA-CEPA namun juga combination engine, karena hybrid dan elektrik baru berproduksi pada 2021," tambah Airlangga.

Menteri Perdagangan Agus Suparmanto mengatakan dengan selesainya ratifikasi IA-CEPA akan meningkatkan akses Indonesia ke Australia.

"Dalam 100 hari ini kami akan intens untuk berkomunikasi dengan menteri perdagangan Australia. Diharapkan dengan meningkatkan akses pasar mengurangi defisit juga dan ekspor bertambah, selain itu juga ada kemudahan lain soal tarif, dan produk-produk kita bisa lebih kompetitif," kata Agus.

Baca juga: Presiden Jokowi: generasi muda jangkar kemitraan Indonesia-Australia

 
Presiden Joko Widodo berbicara dalam forum "Indonesia-Australia Business Roundtable" di Canberra, Australia, Senin (10/2/2020) (Desca Lidya Natalia)



Resep keterbukaan

Namun apakah memang sesungguhnya keterbukaan suatu negara punya dampak positif secara langsung kepada negara tersebut terutama terhadap kesejahteraan rakyatnya?

Dalam tulisannya di jurnal Foreign Policy edisi Januari-Februari 2020, Henry Farrell dan Abraham L Newman mengatakan dibanding memberikan kemerdekaan bertindak bagi pemerintah dan swasta, globalisasi malah cenderung menjerat ke dalam suatu jaring. "Digital network", arus finansial dan rantai suplai yang terbentang di berbagai negara mulai mengancam mereka seperti jaring yang menjebak satu sama lain.

Globalisasi, menurut Farrell dan Newman terbukti bukan sebagai dorongan yang memerdekakan namun tapi sumber kerentanan, kompetisi dan kontrol; jaringan terbukti mengurangi tingkatan kemerdekaan dibanding menciptakan rantai pasokan baru.

Negara-negara di dunia akan tetap terlilit satu sama lain dan masuk ke dalam chained globalization (rantai globalisasi). Pengambil kebijakan (dalam hal ini pemerintah) tidak bisa semata-mata hanya memilih antara mengisolasi diri atau mengintegrasikan diri ke sistem "terbuka" yang sudah ada.

Globalisasi juga menciptakan konflik baru, karena jaring ekonomi dunia dan informasi memang meluas namun luasnya cakupan itu mengerucut dalam satu titik kontrol di pusat dan beberapa negara malah menggunakan kontrol di pusat tersebut sebagai senjata untuk melawan negara kompetitornya.

Negara kompetitor (maupun negara mitra) bisa saja salah membaca tanda dari tindakan negara lain yang malah dapat mendorong eskalasi di jaring yang telah saling mengikat tersebut. Hal itu tampak dari eskalasi perang dagang antara Amerika Serikat dan China beberapa waktu yang lalu.

Jadi sudah siapkah pemerintah (dan rakyat) Indonesia menghadapi rantai globalisasi yang penuh jebakan tersebut?

Baca juga: RI harapkan kemitraan ekonomi IA-CEPA tingkatkan investasi Australia

 

Editor: Agus Salim
Copyright © ANTARA 2020