Kendari (ANTARA) - Rancangan Undang-Undang Pertanahan (RUUP) menuai polemik di kalangan agent of change dan agent of control (mahasiswa) di seluruh pelosok negeri, salah satunya mahasiswa di Kota Kendari, Provinsi Sulawesi Tenggara.

Di Sultra, ratusan mahasiswa bahkan ribuan yang mengatasnamakan Front Rakyat Sulawesi Tenggara Bersatu (Forsub) dari berbagai lembaga organisasi mahasiswa perguruan tinggi se-kota itu bahkan daerah berjuang menyampaikan aspirasi menolak rancangan Undang-Undang tersebut.

Gabungan mahasiswa Forsub itu terdiri atas KPA Sultra, PUSPAHAM Sultra, STKS, FORSDA Kolaka, GMNI Cabang Kendari, SP Kendari, ALPEN Sultra, LMND, STN Sultra, SRMI, HTMS UNSULTRA, BEM FH UMK, BEM UNSULTRA, BEM UMK, PMKRI DPC Kendari, GPM, RTI, BEM FP UHO, BEM PAPERTA UMK, IPPMIK Kendari, IPPMAKU Sultra, HMI Cabang Kendari, Walaka Tolaki, API Kartini, KRC, OASIS, dan IKAMA Sulsel.

Baca juga: Siswa di Kendari diliburkan cegah keterlibatan unjuk rasa

Aksi penolakan RUU Pertanahan pada Peringatan Hari Tani Nasional (HTN) yang jatuh pada tanggal 24 September 2019 dilakukan oleh ratusan mahasiswa dengan berunjuk rasa di Kantor Wilayah (Kanwil) Badan Pertanahan Nasional (BPN) Sultra, kemudian di Kantor Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Sultra (24/9.

Seperti aksi unjuk rasa pada umumnya, dengan bermodal selembar kertas bertuliskan tuntutan dan pengeras suara dan kesadaran mengemban amanah sebagai agen perubahan dan agen kontrol, mereka menyampaikan aspirasi dan tuntutannya secara bergantian disertai dengan aksi teatrikal dengan membawa keranda mayat dan spanduk.

Forsub menilai RUU Pertanahan yang sedang dibahas DPR dan pemerintah saat itu tidak sejalan dengan situasi agraria, yaitu Indonesia tengah mengalami ketimpangan struktur agraria yang tajam, maraknya konflik agraria struktural, kerusakan ekologis yang meluas, laju cepat alih fungsi tanah pertanian ke nonpertanian, dan kemiskinan akibat struktur agraria yang menindas.

,Kisran Makati, pengunjuk rasa dari Lembaga PUSPAHAM Sultra mengatakan bahwa Fosub mendesak agar DPR dan Presiden menghentikan RUU Pertanahan yang dinilai tak partisipatif, liberal, dan antikerakyatan.

Massa juga mendesak agar Presiden dan seluruh aparaturnya segera menjalankan mandat UUD NRI Tahun 1945, Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) Nomor 5 Tahun 1960 tentang UUPA, Tap MPR Nomor IX Tahun 2001 tentang pembaruan agraria dan pengelolaan sumber daya alam, serta Perpres Nomor 86 Tahun 2018 tentang reforma agraria.

Selain itu, Forsub juga mendesak agar aparat keamanan untuk menghentikan cara-cara represif dan penggunaan cara kekerasan dalam menangani konflik agraria yang terjadi serta menghentikan kriminalisasi terhadap para aktivis agraria dan pimpinan organisasi yang memperjuangkan haknya.

Saat menyampaikan aspirasi di Kantor DPRD, massa aksi tak bertemu seorang pun anggota dewan sehingga massa aksi meluapkan kekecewaannya dengan melakukan penyegelan kantor DPRD. Mereka sempat dihalangi oleh barikade berseragam antihuru-hara. Namun, setelah berkomunikasi dengan pihak keamanan saat itu, massa dipersilakan melakukan penyegelan.

Dua Mahasiswa Tewas

Unjuk rasa mahasiswa di Kota Kendari menelan dua korban jiwa mahasiswa Universitas Halu Oleo (UHO) Kendari saat melakukan aksi unjuk rasa di Kantor Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Sultra menolak Rancangan UU Pertanahan, Rancangan UU KHUP dan Revisi UU KPK, 26 September 2019.

Kedua Mahasiswa itu bernama Randi (21) mahasiswa Jurusan Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan (FPIK) UHO angkatan 2016 yang tewas tertembak saat melakukan aksi unjuk rasa di kantor DPRD setempat. Berdasarkan penyelidikan, Randi diduga tewas tertembak oleh tersangka Brigadir AM.

Saat ini berkas perkara Randi tengah dilengkapi oleh tim penyidik untuk kembali dilimpahan ke Kejaksaan Tinggi (Kejati) Sultra. Sebelumnya, pada tangal 27 November 2019 sampai 10 Desember jaksa penuntut umum (JPU) Kejati Sultra melakukan penelitan terhadap berkas kasus tersebut.

Baca juga: Dua mahasiswa di Kendari tewas, Menristekdikti minta usut tuntas

Baca juga: Korban meninggal saat aksi massa di Kendari jadi dua orang



Pihak kejaksaan menyatakan tidak lengkap secara formil maupun materiel sehingga diterbitkan P-18 dan P-19 dan diminta untuk dilakukan rekonstruksi ulang.

Selain Randi, mahasiswa lainnya yang tewas pada aksi itu adalah Muhammad Yusuf Kardawi (19) D-3 Jurusan Teknik Sipil Program Pendidikan Vokasi (PPV) angkatan 2018. Dia meninggal dunia diduga terkena benda tumpul yang mengakibatkan pendarahan.

Kedua mahasiswa yang itu merupakan pejuang demokrasi yang gugur saat terjadi kaos (chaos) antara pihak keamanan (kepolisian) dan mahasiswa yang berusaha masuk ke dalam Kantor DPRD.

Randi sempat dilarikan oleh rekan-rekannya ke RS Ismoyo Kendari. Korban sempat mendapat pertolongan oleh gabungan tim dokter namun tidak tertolong. Sementara itu, Muhammad Yusuf Kardawi sempat dirujuk ke RS Bahteramas. Namun, nahas pada Jumat (27/9) pagi Yusuf meninggal dunia.

Nama Auditorium

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada hari Kamis (19/12/19) resmi mengabadikan nama Randi dan Yusuf, dua mahasiswa yang meninggal dunia saat unjuk rasa di Kantor DPRD Provinsi Sultra sebagai nama auditorium di Gedung Pusat Edukasi Antikorupsi (ACLC) KPK, Jakarta.

Peresmian tersebut dihadiri langsung oleh Wakil Ketua KPK (saat itu) Laode M. Syarif. Sebelumnya, auditorium yang berada di lantai 1 tersebut sudah sering untuk acara-acara yang diselenggarakan KPK dan kini telah dinamakan Auditorium Randi dan Yusuf.

"Untuk mengenal KPK, kita harus mengenal ruangan ini," ucap Syarif usai meresmikan ruangan tersebut.

Baca juga: KPK terima keluarga korban meninggal aksi unjuk rasa di Kendari

Sementara itu, perwakilan Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) Imam yang juga hadir dalam peresmian itu menyatakan bahwa dengan adanya ruangan Randi dan Yusuf menjadi sebuah tanda semangat di KPK di bawah pimpinan KPK baru nantinya.

"Kami berharap  hal  ini menjadi tanda semangat di KPK dengan pimpinan yang baru di bawah Bapak Firli itu ada tanda bahwa perjuangan KPK di periode sebelumnya telah memakan korban," ucap Imam.

Menurut dia, apa yang telah dilakukan Randi dan Yusuf adalah memperjuangkan agar KPK tetap kuat.

Dalam kesempatan sama, Direktur Eksekutif Amnesty Internasional Indonesia Usman Hamid menyatakan bahwa Randi dan Yusuf merupakan pahlawan muda pembela reformasi.

"Buat saya sebagai aktivis gerakan mahasiswa pada era Reformasi Randi, Yusuf, dan Akbar (Alamsyah) itu adalah pahlawan muda pembela reformasi, kenapa? Karena mereka ini bukan sekadar menyampaikan ekspresi atau pendapat, melainkan membela esensi-esensi agenda reformasi itu," ucap Usman.

Baca juga: IMM minta usut tuntas insiden tewas kadernya di Kendari

Baca juga: Mahasiswa kritis saat demo di DPRD dirawat di RS Bahteramas


Selain meresmikan Auditorium Randi dan Yusuf, KPK juga meresmikan lima ruangan lainnya yang berada di lantai 2 Gedung Pusat Edukasi Antikorupsi KPK, yakni Ruangan Randi, Ruangan Yusuf, Ruangan Maulana Suryadi, Ruangan Akbar Alamsyah, dan Ruangan Bagus Putra Mahendra yang juga telah meninggal dunia saat berunjuk rasa menolak revisi RUU KUHP dan revisi UU KPK serta menolak Rancangan UU Pertanahan.

Editor: D.Dj. Kliwantoro
Copyright © ANTARA 2019