Jakarta (ANTARA) - Sejumlah Pelajar Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) dan Sekolah Menengah Atas (SMA) di Jakarta mendeklarasikan Pelajar Antikekerasan yang didukung oleh Pengurus Wilayah Pelajar Islam Indonesia (PW PII) Jakarta.

Siaran pers yang diterima Kamis menyebutkan para pelajar mendeklarasikan enam poin kesadaran diri sebagai pelajar Indonesia, di antaranya para pelajar siap bergandeng tangan untuk membangun dan menyebarkan budaya serta etika kesopanan dan kedisiplinan dalam berdemokrasi.

Selain itu juga menolak segala bentuk kekerasan dan anarkisme yang kerap terjadi dalam lingkungan sesama pelajar, serta mendukung diambilnya jalur hukum berupa Judicial Review ke Mahkamah Konstitusi (MK) dalam menyelesaikan masalah penolakan terhadap berbagai macam undang-undang dan rancangan undang-undang.

"Saya sempat diajak, tapi saya tolak. Jadi saya tidak ikut aksi kemarin, karena menurut saya tidak ada gunanya. Lebih baik saya membantu ibu berdagang," ujar Mohammad Fajar Ramadhan (16), siswa SMK Cilincing 1 jurusan Teknik Permesinan.

Menanggapi keterlibatan pelajar dalam demonstrasi, menurut Suratno, yang juga dosen di Universitas Paramadina, The Lead Institut serta aktif di Lakspedam PBNU, keterlibatan pelajar dalam aksi demonstrasi menolak RUU dan UU KPK kemarin memunculkan dua fenomena, yakni fenomena demokratisasi dimana kalangan pelajar mulai memiliki ghiroh (semangat) untuk terlibat dalam proses demokrasi di Indonesia, dan fenomena adanya mobilisasi pelajar yang agak rentan untuk disusupi oleh kepentingan tertentu.

Baca juga: Dewan Pers bentuk satgas antikekerasan terhadap jurnalis

Menurut dia, sejak peristiwa 1998, demonstrasi (parlemen jalanan) agak vakum, jadi mobilisasi pelajar kemarin agak rentan ditunggangi oleh kepentingan tertentu, tapi dari segi substansi atau semangat untuk terlibat dalam demokratisasi sebenarnya hal itu harus diapresiasi.

Oleh karena itu menurutnya para pelajar perlu mendapatkan pemahaman dan pencerahan mengenai jalur konstitusional Judicial Review dan mengedepankan untuk menyampaikan aspirasi tanpa kekerasan.

Pencegahan akan keterlibatan mereka dalam berdemokrasi mestinya bisa mengurangi aksi tawuran dan sebagainya. Sekolah dan tenaga pendidik juga sangat berperan dalam memberikan arahan kepada anak didik untuk bisa secara bijaksana dan dewasa dalam mengikuti kegiatan sosialnya, sebab bagaimanapun belajar adalah kewajiban utama.

Para pelajar, walaupun pelajar juga tidak menjadi menara gading (apatis), sehingga bisa merespon apa yang terjadi di lingkungan sekitarnya.

Baca juga: Cinta Laura duta antikekerasan perempuan dan anak

Dikatakannya peran serta keberadaan Organisasi Siswa Intra Sekolah (OSIS) seharusnya juga dihidupkan kembali di bawah koordinator Kementerian Pendidikan agar para siswa memiliki wadah organisasi yang kuat dan tepat.

"Keterlibatan pelajar STM/SMA dalam demonstrasi menolak RUU kemarin masih logis, namun mobilisasi yang terjadi tak lepas dari pesatnya perkembangan media sosial," ujar Suratno.

Sementara itu Ketua PW PII Jakarta, Anja Hawai Fasya menyatakan dukungannya terhadap deklarasi pelajar anti kekerasan, bahkan pihaknya mendorong Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) untuk segera mengusut tuntas pihak-pihak yang menunggangi aksi pelajar kemarin. Sebagai pihak pendamping pelajar, PII juga berusaha untuk memberikan advokasi dan pencerahan kepada pelajar dalam berdemokrasi.

"Kami dari PII berusaha mengadvokasi pelajar, terutama dalam menolak politisasi pelajar. Dan dalam rangka pelantikan Presiden kami ingin para pelajar ikut menyukseskan acara tersebut," kata Anja.

Baca juga: Cinta Laura: Aku merasa sangat terhormat jadi Duta Antikekerasan

Pewarta: Feru Lantara
Editor: Masnun
Copyright © ANTARA 2019