Jakarta (ANTARA) - Badan Pusat Statistik menyebutkan bahwa upah buruh atau pekerja, biak secara nominal maupun riil, mengalami kenaikan pada September 2019 bila dibandingkan dengan upah yang diperoleh buruh pada bulan sebelumnya.

"Upah nominal harian buruh tani nasional pada September 2019 naik sebesar 0,13 persen dibanding upah buruh tani Agustus 2019, yaitu dari Rp54.354/hari menjadi Rp54.424/hari," kata Kepala BPS Suhariyanto di Jakarta, Selasa.

Sementara itu, ujar dia, upah riil buruh tani juga mengalami kenaikan yang sama dibanding bulan sebelumnya sebesar 0,87 persen.

Baca juga: Neraca perdagangan September 2019 defisit 160 juta dolar AS

Sebagaimana diketahui, lanjutnya, upah nominal buruh/pekerja adalah rata-rata upah harian yang diterima buruh sebagai balas jasa yang telah dilakukan.

Sedangkan upah riil buruh/pekerja menggambarkan daya beli dari pendapatan yang diterima buruh/pekerja.

Untuk upah nominal harian buruh bangunan (tukang bukan mandor) pada September 2019 naik 0,01 persen dibanding upah Agustus 2019, yaitu dari Rp89.063/hari menjadi Rp89.072/hari, serta upah riil mereka dilaporkan mengalami kenaikan sebesar 0,28 persen.

Baca juga: BPS catat DKI Jakarta deflasi 0,04 persen di September 2019

Sebelumnya, lembaga Center for Strategic and International Studies (CSIS) menilai bahwa aksi demonstrasi buruh tentu dapat menjadi salah satu penyebab menurunnya kinerja industri, khususnya industri manufaktur yang padat karya.

"Harus saling memahami, aksi demo tentu akan mengganggu karena otomatis produksi terhenti jika pekerjanya tidak aktif," ujar Head of the Department of Economics CSIS Yose Rizal Damuri ketika dihubungi di Jakarta, Kamis (3/10).

Ia menambahkan jika aksi demo buruh berkepanjangan, maka juga tidak heran jika ada pengusaha yang hengkang dari Indonesia, karena iklim produksi yang kurang kondusif, ditambah lagi ekonomi dunia yang sedang lesu.

Menurut dia, aksi demonstrasi buruh juga dapat membuat pelaku usaha enggan berekspansi hal itu dikarenakan aturan yang kurang kompetitif dengan negara tetangga.

"Undang-undang tenaga kerja di Indonesia sering dianggap pelaku dunia usaha terlalu restriktif atau mengikat, tidak fleksibel. Di Asia Tenggara, peraturan tenaga kerja Indonesia menjadi yang tidak fleksibel," katanya.

Pewarta: M Razi Rahman
Editor: Budi Suyanto
Copyright © ANTARA 2019