Banjarmasin (ANTARA) - Dua balian suku Dayak Meratus menari berputar mengelilingi Langgatan, ornamen ritual terbuat dari daun enau yang dianyam dan dibuat beringkat-tingkat, yang diletakkan di tengah Balai Adat Kiyu di Desa Hinas Kiri, Kabupaten Hulu Sungai Tengah, Kalimantan Selatan.

Kaki telanjang mereka bergerak menghentak lantai kayu dibawah penerangan lampu sekadarnya, diiringi rentak gendang dengan ritme minimalis. Gelang metal di genggaman para balian berdenting seirama dengan gerak tubuh mereka.

Tak lama kemudian, puluhan pria dan wanita hingga anak-anak mengikuti gerak para balian atau pemimpin ritual adat, mengelilingi Langgatan, ornamen utama dalam ritual Aruh Bawanang. Satu persatu mereka bergabung sementara warga lain bersorak menyemangati, mirip "flashmob" hanya saja mereka tidak benar-benar bubar ketika musik berhenti.

Tarian yang dikenal dengan Tari Bakanjar tersebut baru merupakan awal dari ritual Aruh Bawanang suku Dayak Meratus di Balai Kiyu, satu kelompok masyarakat yang mendiami hutan di kaki Pegunungan Meratus, sekitar 40 kilometer dari ibukota Kabupaten Hulu Sungai Tengah, Barabai.

Tari Bakanjar, Babangsai dan Camping di awal ritual merupakan refleksi kegembiraan warga adat atas rejeki dari Sang Penguasa Alam berupa panen yang melimpah.

Setelah tari-tarian tersebut selesai, pemimpin balian "guru jaya" Sihat memberikan tepung tawar kepada beberapa balian sembari membaca mantra-mantra sebelum mereka duduk mengelilingi Langgatan. Tak lama, Sihat kemudian memimpin upacara Batandik, yang bisa dibilang sebagai inti dari prosesi, dimana ia akan membacakan mantra-mantra dan doa sepanjang malam diikuti oleh para balian lain.

Aruh Bawanang merupakan ritual suku Dayak Meratus sebagai ungkapan rasa syukur atas panen yang melimpah, serta permohonan doa agar mereka selalu diberi rejeki, kesehatan dan kesejahteraan.

"Melalui Aruh Bawanang, kami mengucap syukur kepada Yang Kuasa atas hasil panen yang melimpah. Kami juga berdoa untuk kesehatan, rejeki dan kesejahteraan," kata Kepala Adat Balai Kiyu Makorban yang juga seorang balian.

Ia memberikan perumpamaan Aruh Bawanang layaknya orang membayar hutang. "Setelah Yang Kuasa memberikan rejeki kepada kita, ya kita bayar dengan ritual ini."

Bagi suku Dayak Meratus, tanah dan hutan adalah kehidupan mereka, oleh karenanya alam haruslah dihormati.

Aruh Bawanang digelar selama enam hari enam malam. "Tidak lebih dan tidak kurang. Ini adalah izin dan amanah dari para leluhur. Kami yakin dan percaya, dan (ritual) ini harus dilakukan ketika panen kami berhasil," kata Makorban.

Ritual adat ini tidak setiap tahun bisa dilakukan, hanya jika panen berhasil saja, dan tergantung pada kesepakatan seluruh warga.

Keluarga yang sudah bernazar untuk melakukan ritual ini akan menyediakan "piduduk" atau persembahan bagi para arwah leluhur, berupa beras, kelapa, gula aren, dan kebutuhan pokok lain yang dimasukkan ke dalam keranjang dan diletakkan di kaki Langgatan.

Mereka juga meletakkan "giling" berupa tembakau, kapur, gambir yang digulung dalam daun sirih, sebagai perantara untuk memanggil arwah para leluhur agar mau menerima persembahan warga.

Baca juga: Kepercayaan Kaharingan Dayak Meratus Terancam Punah
Sejumlah penari dari masyarakat adat Dayak Meratus menampilkan tari Bakanjar sebelum melakukan ritual Batandik di Balai Adat Kampung Kiyu, Desa Hinas Kiri, Kabupaten Hulu Sungai Tengah, Kalimantan Selatan, Sabtu (28/9/2019) malam. Masyarakat adat Dayak Meratus Kampung Kiyu melakukan tradisi tahunan Aruh Bawanang yang artinya sujud syukur dari hasil panen yang sudah didapat setiap tahunnya. ANTARA FOTO/Bayu Pratama S/ama.


Buah surga

Suku Dayak Meratus meyakini bahwa padi merupakan buah dari pohon surga. Oleh karena itu beras sama sekali tidak boleh diperdagangkan, meskipun panen mereka melimpah.

"Beras tidak boleh dijual. Setelah panen, biasanya petani akan mengambil jumlah secukupnya untuk kebutuhan mereka dalam setahun sebelum mereka kembali berladang. Mereka berladang setahun sekali," kata warga setempat Syahdi.

Sisa hasil panen tersebut, lanjut dia, akan digunakan untuk keperluan lain seperti untuk acara adat semacam Aruh atau kalau ada tetangga menikah ikut menyumbangkan beras.

Sebagian besar warga Dayak Meratus di Balai Kiyu merupakan petani karet di kawasan Hutan Adat. Selain karet, mereka juga menjual hasil hutan lain seperti bambu, rotan, mandar dan madu.

Dalam ritual Aruh Bawanang, warga yang menjadi tuan rumah akan memberikan beras sekitar 2-5 liter kepada tamu yang datang atau bisa juga pemberian berupa lamang, sebelum para tamu pulang setelah acara selesai.

Dalam aturan Dayak Meratus, tamu dari luar daerah sebenarnya baru boleh pulang setelah ritual selesai, biasanya pada dinihari. Mereka biasanya akan ditawari untuk menginap di rumah warga.

Namun aturan ini tidak terlalu ketat dijalankan. "Kalau mau pulang sekarang juga tidak apa, toleransi saja kita," jawab seorang balian Soleman sambil terkekeh, ketika seorang tamu menanyakan hal tersebut kepadanya.

Namun demikian, bagi siapapun yang membuat kegaduhan di luar Balai Adat, warga tidak akan segan-segan untuk menjatuhkan hukum adat berupa denda yang dihitung dalam takaran "tahil" atau piring keramik. Satu tahil setara dengan Rp1,2 juta, dan jumlah denda adat ini berbeda-beda tergantung tingkat kesalahan.

Menjelang dinihari, pemimpin balian menyudahi hari pertama ritual Aruh Bawanang. Puluhan warga desa tampak tertidur pulas di rumah Balai yang makin sepi.

Untuk sementara, para balian akan beristirahat sebelum siang nanti mereka memulai rangkaian ritual yang sama dengan mantra dan doa yang berbeda-beda, hingga enam hari ke depan.

Baca juga: Tokoh Adat Dayak Meratus dukung presiden terpilih
 

Editor: Zita Meirina
Copyright © ANTARA 2019