Yang paling sulit dalam mengelola kelompok reog adalah 'ngopeni' para pelakunya yang berbagai macam karakter.
Jakarta (ANTARA) - Pemerintahan Prabu Brawijaya V dari Majapahit didominasi Permaisuri Putri Campa membuat pujangga kerajaan bernama Suryongalam tidak puas.

Saran dan nasihat untuk mengatasi keadaan kerajaan yang tengah kacau dari Sang Pujangga tidak diindahkan oleh Sang Prabu, sehingga akhirnya Suryongalam memilih meninggalkan Majapahit dan menyingkir ke Surukubeng.

Di daerah itu, Suryongalam mendirikan sebuah padepokan dan bergelar Ki Ageng Kutu sembari tetap memikirkan Sang Prabu dan kerajaan yang sudah di ambang keruntuhan.

Sebagai rakyat sekaligus mantan pejabat kerajaan, Ki Ageng Kutu tetap ingin mengingatkan Prabu Brawijaya V agar ingat akan tanggung jawabnya sebagai raja.

Sang Pujangga kemudian menciptakan sebuah seni pertunjukan yang berisi sindiran kepada Sang Raja.

Sang Raja yang gagah perkasa digambarkan sebagai harimau, binatang paling perkasa di hutan-hutan Jawa. Sedangkan, Putri Campa yang cantik digambarkan sebagai burung merak, binatang paling indah di hutan.

Kedua binatang yang menjadi simbol Raja dan Permaisuri itu kemudian digabungkan menjadi Singo Barong, kepala harimau yang ditunggangi seekor burung merak, sebagai kritik atas dominasi Permaisuri dalam pemerintahan raja.

Pasukan Majapahit yang semakin lemah di bawah pemerintahan Brawijaya V digambarkan sebagai pasukan berkuda dengan perilaku dan sifat feminin, yaitu penari berkuda yang dimainkan seorang laki-laki gemulai mengenakan kebaya.

Sedangkan Suryongalam sendiri digambarkan sebagai Pujangganong, alih nama Pujangga Anom yang merupakan jabatan Suryongalam di kerajaan.

Dalam pertunjukan reog, Pujangganong selalu menggoda Singo Barong yang tidak pernah terkalahkan.

Meskipun memiliki latar belakang cerita, misalnya versi Suryongalam atau versi Prabu Kelonosewandono dari Bantarangin, cukup sulit menelurusi sejarah dan asal usul Reog Ponorogo.

Baca juga: Reog Ponorogo (1) - Upaya membumikan lewat Festival Reyog

Baca juga: Pemkab Ponorogo dorong desa/kelurahan kembangkan reog

 
Salah satu penari Pujangganong dari kelompok reog Ki Onggo Pati, Desa Plunturan, Kabupaten Ponorogo dalam Gelar Reyog Desa Plunturan di Ponorogo, Minggu (25/8/2019). (ANTARA/Dewanto Samodro)



Legenda

Peneliti reog Rido Kurnianto mengatakan sejarah reog Ponorogo yang dipahami masyarakat umumnya lebih cenderung bersifat legenda, yaitu prosesi lamaran Prabu Kelonosewandono kepada Dewi Songgolangit dari Kediri.

"Sejarah reog Ponorogo berbasis fakta ilmiah, belum menemukan kepastian yang bisa dipertanggungjawabkan," kata Rido.

Dekan Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Ponorogo yang menulis buku "Seni Reyog Ponorogo" itu mengatakan semua hasil penelitian tentang reog belum ada yang berhasil mengungkap sejarah secara ilmiah.

Penelitian-penelitian selalu terbentur pada permasalahan fakta dan data karena hanya bersumber dari informasi lisan dan beberapa tulisan dengan kesimpulan yang multitafsir.

Memang ada beberapa prasasti dan situs, seperti situs Bantarangin di Kecamatan Somoroto; prasasti di Desa Kutu, Kecamatan Jetis; Ki Ageng Mirah di Desa Mirah, Kecamatan Sukorejo; dan Ki Onggolono di Desa Golan, Kecamatan Sukorejo yang dianggap berkaitan dengan sejarah reog.

Namun, Rido percaya bahwa reog berkembang seiring dengan keberadaan masyarakat awal Ponorogo yang masih menganut kepercayaan animisme dan dinamisme yang percaya bahwa segala sesuatu terjadi karena keberadaan roh-roh di alam.

"Dalam kepercayaan animisme dan dinamisme, bencana atau bala itu akibat kemarahan roh-roh yang ada di alam sehingga diperlukan upaya bersih-bersih dengan memanggil roh yang lebih kuat," katanya.

Napak tilas berdirinya Bumi Reog



Karena itu, masyarakat Ponorogo memilih roh harimau, yang dianggap sebagai roh binatang hutan terkuat, dan roh burung merak, yang dianggap sebagai roh binatang hutan terindah.

Oleh para seniman di masa lalu, simbol roh harimau dan roh burung merak itu kemudian digambarkan sebagai kepala harimau yang disebut barongan dan dadak merak yang terus mengalami perkembangan menjadi topeng reog yang saat ini dikenal.

"Sebelumnya, reog dimainkan oleh dua orang seperti barongsai di China. Satu orang memainkan kepala dan dua kaki depan, satu orang bermain sebagai badan dan dua kaki belakang. Topengnya berupa kepala harimau dengan dadak merak kecil seperti mahkota," tuturnya.

Bila melihat cerita legenda yang menjadi latar pertunjukan, memang bisa disimpulkan bahwa reog mulai berkembang sejak era animisme dan dinamisme hingga bentuk saat ini yang mulai mendapat pengaruh dari agama Islam.

Rido mengatakan bentuk pengaruh Islam dalam reog saat ini bisa dilihat pada manik-manik tasbih yang ada pada paruh burung merak.

Sejarah akulturasi reog dengan ajaran Islam bisa dirunut pada cerita Bathoro Katong, murid Ki Ageng Mirah, yang beragama Islam.

Bathoro Katong yang bernama asli Lembu Kanigoro merupakan putra kelima Prabu Brawijaya V, adik Raja Demak Raden Patah. Untuk mempermudah penerimaan masyarakat yang masih banyak menganut agama Hindu dan Buddha, Raden Patah memberi nama adiknya Bathoro Katong.

Bathoro Katong berasal dari kata "batara" yang berarti dewa dan "katon" yang berarti menampakan diri, sehingga berarti dewa yang mewujud atau menampakan diri dalam wujud manusia.

Reog menjadi salah satu media dakwah yang dilakukan Bathoro Katong. Manik tasbih yang ada pada paruh burung merak dimaksudkan agar manusia selalu berdzikir kepada Yang Maha Kuasa.

Baca juga: Tokoh Ponorogo: Yang betul "reyog" bukan "reog"

Baca juga: Untuk diakui warisan budaya UNESCO, reog Ponorogo masih tunggu waktu

 
Salah satu penari Warok Putri dari kelompok reog Ki Onggo Pati, Desa Plunturan, Kabupaten Ponorogo dalam Gelar Reyog Desa Plunturan di Ponorogo, Minggu (25/8/2019). (ANTARA/Dewanto Samodro)



Reog Plunturan

Pemerintah Kabupaten Ponorogo mendorong setiap desa dan kelurahan untuk terus mengembangkan seni budaya reog. Salah satu desa yang melestarikan reog adalah Desa Plunturan, Kecamatan Pulung.

Kepala Desa Plunturan Dwi Bintoro mengatakan kelompok reog di desanya bernama Ki Onggo Pati yang diambil dari nama salah satu prajurit Pangeran Diponegoro. "Para pelaku reog Ki Onggo Pati mulai dari anak-anak hingga orang tua," kata Bintoro.

Salah satu keunikan kelompok reog Ki Onggo Pati adalah memiliki empat subkelompok. Selain Ki Onggo Pati sendiri, juga ada Onggo Pati Putu yang dimainkan anak-anak, Onggo Pati Putri yang seluruh pemainnya adalah warga perempuan Desa Plunturan, dan Onggo Pati Sepuh yang dimainkan para sesepuh desa.

Menurut Bintoro, pelestarian reog di desa-desa sangat bergantung pada komitmen pemerintah desa. Bintoro sendiri menjadi kepala desa menggantikan ayahnya, Bikan Gondowiyono, yang juga seorang seniman reog.

"Yang paling sulit dalam mengelola kelompok reog adalah 'ngopeni' para pelakunya yang berbagai macam karakter," tuturnya.

Mbah Bikan, ayah Bintoro yang juga menjadi sesepuh Desa Plunturan, mengatakan cikal bakal reog Ki Onggo Pati bermula dari kakeknya yang bernama Irodrono. Saat itu, kelompok reog di Desa Plunturan belum memiliki nama.

"Setelah Indonesia merdeka, kelompok reog ini dilanjutkan oleh ayah saya, Mbah Sarbun Joyo Asmo, dan diberi nama Onggo Pati," katanya.

Mbah Bikan yang sudah berusia 74 tahun itu kemudian mewarisi pengelolaan reog Ki Onggo Pati setelah menjadi kepala desa menggantikan ayahnya.

Menurut dia, reog tidak bisa menghidupi pelakunya karena sebagai seni dan budaya tidak dikomersialkan. Karena itu, pemerintah desalah yang kemudian harus menghidup sebuah kelompok reog.

Sebagai upaya mengembangkan dan membumikan reog, Pemerintah Kabupaten Ponorogo setiap tahun mengadakan Festival Reyog Mini dan Festival Nasional Reyog Ponorogo.

Festival Reyog Mini diikuti peserta dari siswa-siswi SMP yang mewakili sekolah, kecamatan maupun sanggar yang ada di Kabupaten Ponorogo, sedangkan Festival Nasional Reyog Ponorogo diikuti grup reog dari berbagai kalangan yang tidak hanya ada di Kabupaten Ponorogo.

Pada 2019, penyelenggaraan Festival Reyog Mini merupakan gelaran yang ke-17, sedang Festival Nasional Reyog Ponorogo merupakan gelaran yang ke-26.

Penyelenggaraan pada 2019 juga didukung oleh Platform Indonesiana dari Direktorat Jenderal Kebudayaan Kementerian Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, yang merupakan bagian dari Festival Budaya Bumi Reyog 2019 dan rangkaian Hari Jadi ke-523 Kabupaten Ponorogo serta Perayaan Grebeg Suro.*

Baca juga: Pemkab Ponorogo adakan Festival Budaya Bumi Reog

Baca juga: Anies "naik" Reog Ponorogo di Jakarnaval 2019

Pewarta: Dewanto Samodro
Editor: Erafzon Saptiyulda AS
Copyright © ANTARA 2019