Cirebon (ANTARA) - Suasana di Puskesmas Pamengkang, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat, pada Senin (17/11), berjalan seperti rutinitas sehari-hari. Warga datang bergantian, ada yang memeriksakan anaknya, mengambil obat, atau sekadar berkonsultasi dengan petugas kesehatan.
Di ruang pendaftaran, terdapat dua petugas perempuan berseragam batik biru tampak sibuk, namun tetap ramah saat melayani warga.
Mereka menyapa setiap pasien yang datang, memeriksa berkas, serta mengarahkan warga ke ruang pelayanan yang tepat.
Keramahan mereka membuat suasana pagi itu terasa lebih ringan, meski antrean terus bergerak. Di sela keramaian tersebut, seorang pria datang secara khusus untuk mengikuti program Cek Kesehatan Gratis (CKG).
Pria itu tampak sedikit canggung, ketika menghampiri meja pendaftaran, namun salah satu petugas segera menyambutnya.
Dengan nada lembut, petugas menjelaskan alur pemeriksaan CKG serta menanyakan data diri pria tersebut, untuk mengakses program dari Presiden Prabowo Subianto bersama Wapres Gibran Rakabuming Raka tersebut.
Setelahnya, pria tersebut masuk ke ruang pelayanan untuk melakoni serangkaian prosedur terkait CKG.
“Saya datang hari ini memang untuk ikut program CKG. Ternyata program ini bisa diakses di puskesmas terdekat,” kata Nanang (29), saat berbincang dengan ANTARA, usai mengikuti program CKG.
Sebetulnya, ia datang hanya untuk memeriksakan kondisi mata, seraya mencoba memahami alur CKG secara langsung, untuk mengakses layanan tersebut di kemudian hari.
Ia mengaku sudah mendaftar layanan CKG melalui aplikasi "Satu Sehat". Kemudian, memilih jadwal pemeriksaan dan memastikan seluruh datanya tersimpan dengan benar, sebelum datang ke fasilitas kesehatan (faskes) tersebut.

Pada aplikasi tersebut, ia sempat mengisi skrining mandiri. Formulir itu menanyakan riwayat kesehatan, kebiasaan harian, serta keluhan umum yang mungkin dialami dalam beberapa pekan terakhir.
Salah satu bagian skrining menanyakan soal potensi TBC. Ia mengisi semua pertanyaan seputar durasi batuk, hingga riwayat kontak dengan pasien. Semuanya dijawab dengan jujur, meski dia tidak memiliki keluhan.
Program CKG menyediakan layanan tambahan, termasuk pengecekan TBC. Warga yang memiliki gejala atau risiko tertentu dapat menjalani pemeriksaan tersebut, tanpa biaya sepeser pun.
Program CKG menjadi pintu masuk bagi warga untuk memeriksakan kondisi kesehatan dasar. Layanan ini, sekaligus membuka peluang deteksi dini TBC, sebelum gejalanya berkembang lebih berat.
Terdeteksi sejak dulu
Secara umum, TBC merupakan penyakit yang disebabkan oleh infeksi Mycobacterium tuberculosis. Penyakit ini bisa menjalar ke orang lain melalui udara, saat penderitanya mengalami batuk atau bersin, tanpa menutup mulut dan hidung.
Cirebon adalah salah satu daerah yang memiliki catatan panjang terkait penyakit TBC ini. Jejaknya terbentang lebih dari satu abad lalu, ketika TBC menjadi momok menakutkan bagi warga pribumi di pesisir utara Jawa Barat tersebut.
Sejumlah arsip berbahasa Belanda yang dihimpun ANTARA menunjukkan upaya untuk memerangi TBC di Cirebon telah tercatat sejak awal 1918. Pihak kolonial, saat itu membentuk komite regional di tingkat keresidenan untuk menahan laju penyakit ini.
Komite tersebut bekerja sama dengan asosiasi pamitran, yang mendapat 60 persen dana masuk, dengan syarat terlibat aktif dalam kegiatan pemberantasan TBC.
Lebih dari satu dekade kemudian, gambaran umum kesehatan masyarakat masih muram. Laporan De Locomotief pada 28 Januari 1929 menyebutkan, penyakit paru-paru dan TBC menjadi penyebab utama kematian orang dewasa di Cirebon serta Indramayu pada periode tersebut.
Selain masyarakat pribumi, penyakit TBC pun tercatat menyerang para narapidana yang mendekam di penjara di Cirebon.
Memasuki awal 1930-an, perhatian terhadap TBC pun semakin meluas, dengan pembentukan Stichting Centrale Vereeniging tot Bestrijding der Tuberculose (SCVT), sebuah lembaga untuk menangani penyakit tersebut di Cirebon. Hal ini tercatat dalam laporan De Koerier.
Arsip De Standaard pada 15 Juni 1935, menyebut bahwa TBC telah berkembang menjadi penyakit nasional yang sulit dikendalikan.
Pada Februari 1936, sebagaimana dimuat dalam De Indische Courant, faktor penyebab terjadinya TBC yang meluas di Hindia Belanda, dipengaruhi pula oleh pola hidup tidak sehat dan kekurangan gizi.
Berangkat dari hal tersebut, otoritas terkait waktu itu merekomendasikan pendirian dapur umum di beberapa daerah, termasuk Cirebon, untuk mengatasi kekurangan gizi yang memperburuk TBC.
Bataviaasch Nieuwsblad mencatat pula, SCVT Cabang Cirebon menghimpun dana dari pemerintah daerah, desa-desa, hingga kegiatan masyarakat untuk mendukung operasional pengendalian TBC.
Dari sumber yang sama diketahui pada 1936, layanan konsultasi TBC sudah dibuka di Rumah Sakit “Oranje” Kosambi (sekarang dikenal sebagai RSD Gunung Jati).
Pemeriksaan fluoroskopi hingga tes tuberkulin dilakukan secara rutin, sementara pemetaan penyebaran TBC mulai dirancang dengan lebih teliti.
Selanjutnya, laporan tahun 1939 mencatat peningkatan aktivitas layanan. Di Batavia, kantor SCVT melayani 400 pasien baru dan total 1.312 konsultasi terkait TBC.
Pemeriksaan yang dilakukan mencakup rontgen, radiografi, tes dahak, tes darah, 373 kunjungan rumah, serta 893 pengisian ulang pneumotoraks.
Dalam periode yang sama, De Locomotief kembali memuat laporan terkait jumlah pengunjung layanan TBC di Cirebon. Pada akhir tahun tersebut melampaui 800 orang, sehingga banyak pasien harus dirujuk ke daerah lain akibat keterbatasan tempat.
Situasi tersebut mendorong pembangunan sanatorium paru-paru di Sidawangi, yang dikerjakan dengan dana subsidi dari otoritas kolonial, saat itu.
Penanganan masa sekarang
Di masa sekarang, pemerintah di tingkat pusat dan daerah berupaya mempercepat penanggulangan TBC lewat beragam program yang menekankan deteksi dini, penguatan layanan, serta pendampingan pasien.
Upaya tersebut diterjemahkan ke dalam evaluasi rutin dan penguatan kolaborasi lintas sektor, termasuk di Kabupaten Cirebon yang terus mendorong perbaikan capaian penanganan TBC.
Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Cirebon mengakui, upaya penanganan TBC di daerahnya masih berhadapan dengan banyak tantangan.
Sampai pekan ke-40 tahun 2025, target nasional mengharuskan capaian deteksi kasus berada pada angka 69 persen. Namun, selama periode tersebut realisasi di Kabupaten Cirebon baru 65,2 persen.
Dari total 60 puskesmas yang tersebar di Kabupaten Cirebon, sebagian sudah mampu mencapai target, namun lainnya masih tertinggal, sehingga perlu dilakukan identifikasi hambatan yang ada di lapangan.
Kepala Dinas Kesehatan (Dinkes) Kabupaten Cirebon Eni Suhaeni menjelaskan pengawasan pengobatan bagi pasien TBC pun harus diperkuat. Sebab, proses terapi yang harus dijalani selama enam bulan membutuhkan kedisiplinan tinggi.
Dinkes pun mencatat rendahnya capaian terapi TBC yang baru mencapai 15,1 persen, jauh di bawah target tahunan 72 persen.
Sesuai standar pelayanan minimal, Kabupaten Cirebon seharusnya dapat mencapai 100 persen untuk cakupan layanan, namun realisasinya baru sekitar 30 ribu dari target 50 ribu layanan.
Melihat kondisi tersebut, Dinkes Cirebon tak tinggal diam. Program seperti pengawasan menelan obat (PMO) pun terus digalakkan.
Melalui PMO, setiap pasien TBC didampingi petugas kesehatan atau kader di desa yang memantau dan memastikan obat diminum secara teratur, sesuai jadwal.
Dinkes Kabupaten Cirebon gencar melakukan sosialisasi sampai ke tingkat desa, untuk mengurangi stigma terhadap penderita TBC dan meningkatkan pemahaman masyarakat tentang penyakit ini.
Bagi dinkes, dukungan tokoh masyarakat, perangkat desa, dan kader kesehatan sangat krusial untuk meningkatkan kesadaran serta kemauan warga menjalani pemeriksaan.
CKG untuk TBC
Pemerintah menargetkan penurunan angka TBC hingga 50 persen pada 2029. Oleh karenanya, Dinkes Cirebon menegaskan pentingnya penelusuran kontak erat setiap kasus TBC.
Dinkes Cirebon menyampaikan kegiatan rutin di lapangan, seperti pelaksanaan CKG, memiliki andil besar dalam mendeteksi kasus TBC.
Dari total penduduk sekitar 2,4 juta jiwa, terdapat 7.694 kasus TBC yang sudah terdeteksi di Kabupaten Cirebon hingga awal November 2025. Adapun estimasi untuk penderita penyakit ini sekitar 10.327 orang.
Meskipun demikian, kasus TBC di kabupaten tersebut sebenarnya mengalami penurunan dibandingkan pada 2024, yang tercatat 9.953 kasus.
Hal senada disampaikan Wakil Bupati Cirebon Agus Kurniawan Budiman, yang menyebutkan program CKG dari pemerintah pusat, telah menumbuhkan kesadaran masyarakat untuk mendeteksi penyakit secara dini dengan mengakses layanan ini.
“Sampai awal November ini, lebih dari 52 juta orang menyadari pentingnya deteksi dini penyakit, dengan mengikuti CKG,” tuturnya.
Pemkab Cirebon mencatat, Program CKG berdampak pula pada perluasan skrining TBC yang telah menjangkau lebih dari 20 juta orang.
Percepatan penemuan kasus TBC melalui CKG menjadi kunci memutus rantai penularan.
Dengan deteksi dini di puskesmas, klinik, dan rumah sakit, pasien dapat segera mendapatkan pengobatan, sehingga risiko penularan dapat ditekan.
Perluasan cakupan CKG dan skrining TBC ditopang oleh penguatan layanan primer. Pemkab Cirebon mengajak masyarakat di daerah itu untuk aktif memanfaatkan program ini.
Upaya lain
Pada sisi lain, Pemkab Cirebon mulai menerapkan Peraturan Daerah (Perda) tentang Kawasan tanpa Rokok (KTR), sebagai langkah penting untuk melindungi masyarakat dari paparan asap rokok, sekaligus mendukung upaya pencegahan TBC.
Bupati Cirebon Imron mengatakan Perda KTR dibuat agar masyarakat, khususnya yang tidak merokok, tidak harus menghirup asap rokok di ruang publik.
Asap rokok, diketahui dapat merusak paru-paru dan menurunkan daya tahan tubuh, sehingga berkontribusi meningkatkan risiko tertular TBC.
Ada beberapa lokasi yang ditetapkan sebagai KTR di Cirebon, yaitu tempat umum, fasilitas pendidikan, perkantoran, rumah ibadah, taman bermain anak, hingga angkutan umum.
Area tersebut dinilai perlu terbebas dari asap rokok karena menjadi tempat berkumpulnya kelompok rentan, seperti anak-anak, ibu hamil, lansia, serta orang dengan gangguan paru, termasuk pasien TBC.
Bagi pemkab, kebijakan ini tidak melarang orang merokok sepenuhnya, namun menata agar aktivitas merokok dilakukan di tempat khusus, sehingga tidak merugikan orang lain.
Pemerintah daerah memiliki landasan kuat untuk mendorong perilaku hidup bersih dan sehat, dengan diberlakukannya Perda KTR.
Lingkungan yang minim asap rokok bisa membantu menjaga kesehatan paru-paru, memperkuat imunitas, dan mendukung upaya pencegahan serta pengendalian TBC di Kabupaten Cirebon.
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Deteksi dini jadi kunci menekan penularan TBC di Cirebon
