Bandung (ANTARA) - Direktur Merah Putih Stratejik Institut (MPSI), Noor Azhari, menanggapi secara satir adanya penolakan usulan pemberian gelar pahlawan nasional kepada mantan Presiden Soeharto.
Menurut dia, bangsa yang besar seharusnya belajar berdamai dengan kenyataan, bukan mengabadikan dendam sebagai warisan politik.
“Kalau sejarah hanya dipelihara untuk mencari siapa yang paling sakit hati, maka kita bukan sedang membaca masa lalu, tapi sedang menulis ulang luka dengan tinta kebencian,” ujar Noor Azhari di Jakarta, Sabtu (8/11).
Menurut dia, seorang negarawan sejati justru diuji saat mampu memisahkan pengalaman emosional dari kepentingan kebangsaan.
“Negarawan sejati berdamai dengan kenyataan, bukan dengan kenangan yang membelenggu. Kalau dendam dijadikan ukuran kebijakan, maka keadilan sejarah akan kehilangan pijakan,” ucapnya.
Lebih lanjut, Azhari menegaskan bahwa jasa Soeharto terhadap bangsa Indonesia tidak bisa dihapus begitu saja hanya karena luka masa lalu.
“Sejarah bukan cermin tunggal. Ia mozaik, tempat jasa dan dosa berdiri berdampingan. Kalau setiap kesalahan meniadakan pengabdian, mungkin tak satu pun tokoh layak disebut pahlawan,” katanya.
Ia juga mengingatkan, Indonesia didirikan atas semangat persatuan dan perdamaian, bukan dendam antarkeluarga atau partai politik.
“Kita sering berteriak ‘Indonesia negara damai’, tapi diam-diam menikmati ketegangan masa lalu. Bukankah ironis jika yang menyerukan rekonsiliasi justru tersandera oleh ingatan yang tak mau sembuh?” ujarnya.
Menurutnya, pimpinan partai politik seharusnya menjadi teladan dan ruang pembelajaran etika sejarah, bukan arena pelestarian luka.
“Semua tokoh maupun secara institusi partai di negeri ini berteriak tentang perdamaian, tapi barangkali belum semua mau menanam benihnya di hati. Padahal perdamaian bukan slogan kongres, tapi keputusan batin,” pungkasnya.
