Jakarta (ANTARA) - Upaya mendorong pemerintah untuk mewujudkan pengendalian tembakau yang lebih konsisten, boleh jadi kini menghadapi kendala lebih terjal, yakni munculnya isu rokok ilegal, yang konon terus meningkat.
Bahkan seorang KDM (Kang Dedy Mulyadi), Gubernur Jawa Barat yang super aktif itu, pun termakan isu rokok ilegal. Dalam suatu wawancara, KDM mendalilkan bahwa maraknya rokok ilegal itu karena kenaikan cukai rokok, yang dianggap terlalu tinggi. Oleh karenanya KDM meminta pemerintah agar tidak menaikkan cukai rokok, agar rokok ilegal tak makin marak.
Video wawancara KDM pun diviralkan di berbagai kanal oleh pihak tertentu yang merasa diuntungkan oleh pernyataan KDM itu. Padahal pandangan tersebut berpotensi menyesatkan publik, seolah pandangan KDM itu benar adanya.
Lalu bagaimana kita menyikapi pandangan ala KDM atau pihak lain yang menyatakan bahwa rokok ilegal itu merupakan buntut atas kenaikan cukai?
Pandangan yang menyatakan bahwa rokok ilegal itu muncul karena dampak kenaikan cukai itu tidak punya dasar empirik, baik di Indonesia maupun di luar negeri. Apalagi dasar ilmiah. Sebab seberapa pun besaran cukainya, fenomena rokok ilegal itu akan selalu ada dan di lapangan memang terjadi up and down terhadap besaran persentasenya.
Mengacu pada survei CISDI terkait fenomena rokok ilegal, yang dilakukan di lima kota besar di Indonesia yaitu Jakarta, Medan, Semarang, Makasar, Bandung, baru-baru ini, prevalensi rokok ilegal saat ini memang lumayan besar, yakni mencapai 10,77 persen.
Namun, angka prevalensi itu bukan berarti merupakan angka tertinggi yang pernah terjadi di Indonesia. Data rokok ilegal oleh Ditjen Bea Cukai membuktikan memang naik turun, dengan sebaran sebagai berikut: 2014 (11,7 persen), 2016 (12,1 persen), 2018 (7,0 persen), 2020 (4,9 persen), dan pada 2022 (5,5 persen).
Penyebab kenaikan persentase rokok ilegal
Dengan demikian, bisa disimpulkan bahwa secara paralel persentase rokok ilegal justru mengalami penurunan. Dan jika sekarang mengalami kenaikan lagi (sebesar 10,77 persen), sebagaimana hasil riset CISDI tersebut, setidaknya ada beberapa sebab, antara lain pertama, faktor penegakan hukum.
Data menunjukkan, jika penegakan hukumnya kuat, maka persentase rokok ilegal turun, dan sebaliknya, jika penegakan hukumnya melemah, persentase rokok ilegal naik. Contoh, data Ditjen Bea Cukai membuktikan, pada 2022 terdapat 19.399 kali penegakan hukum, dan dampaknya persentase rokok ilegal hanya 5,5 persen saja. Pada tahun-tahun sebelumnya juga menunjukkan fenomena serupa, bahwa penegakan hukum rokok ilegal berkelindan terhadap tinggi/rendahnya prevalensi rokok ilegal.
Sehingga dapat ditarik kesimpulan, jika pada 2025 prevalensinya mencapai 10,77 persen; maka patut diduga dengan kuat terjadi pelemahan penegakan hukum terhadap rokok ilegal.
Pemerintah, termasuk Pemda, seharusnya konsisten untuk melakukan penegakan hukum rokok ilegal sebagaimana mandat Permenkeu No. 72/2024 tentang Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBH CHT), yang mengalokasikan dana untuk penegakan hukum sebesar 10 persen.
Merujuk pada Permenkeu No.72/2024 tersebut, maka bagi daerah yang prevalensi rokok ilegalnya tinggi, seharusnya Kemenkeu tidak menggelontorkan DBH CHT ke daerah tersebut. Biar nyahok!
Untuk apa digelontor dana 10 persen dari DBH CHT, yang tujuannya untuk memberantas rokok ilegal, tapi persentase rokok ilegalnya tinggi? Itu artinya dana 10 persen tidak digunakan untuk law enforcement, mungkin disalahgunakan untuk keperluan lain.
Kedua, sistem cukai di Indonesia yang masih sangat rumit. Sistem cukai di Indonesia, yang masih mencapai 8-9 layer, menjadi sistem cukai terumit di dunia. Sistem cukai seperti ini selain sangat sulit dalam pengawasan (terkait kepatuhan), juga sangat menguntungkan industri rokok, khususnya industri rokok besar. Mereka akan membuat rokok murah, sehingga menimbulkan down trading, dan klimaksnya adalah rokok ilegal.
Oleh karena itu, sangat mendesak bagi Kemenkeu untuk melakukan reformasi sistem cukai dengan cara penyederhanaan sistem cukai menjadi maksimal 4-5 layer saja. Manfaat dari reformasi sistem cukai, akan mendorong tingginya kepatuhan industri rokok dan pendapatan cukai rokok yang diterima pemerintah juga akan meningkat signifikan. Prevalensi rokok ilegal pun akan turun signifikan pula.
Isu setingan industri rokok, dalam membentuk opini publik
Ketiga, ini isu setingan industri rokok, dalam membentuk opini publik. Ini yang harus kita waspadai, bahwa koar-koar terhadap meningkatnya rokok ilegal karena dampak kenaikan cukai rokok, jelas setingan industri rokok. Tujuannya agar pemerintah tidak menaikkan cukai rokok, atau, kalau menaikkan cukai tidak terlalu tinggi. Harapannya agar harga rokok masih terjangkau oleh masyarakat, khususnya anak-anak dan remaja.
Ini jelas tindakan yang licik, dan melawan regulasi, sebab cukai memang berfungsi untuk pengendalian konsumsi, cukai apa pun, yang dibebankan pada konsumen, yang membayar adalah konsumen (bukan industri rokok). Ketika rokok mahal karena cukai, dan masyarakat mengurangi konsumsi rokok, artinya tujuan dan fungsi cukai rokok tercapai. Semakin tinggi kenaikan cukai rokok, semakin baik untuk melindungi masyarakat.
Intinya, antara kenaikan cukai dengan rokok ilegal, adalah dua isu yang berbeda. Bahkan jika mengacu praktik kenaikan cukai di Inggris, justru berdampak positif untuk memberantas fenomena rokok ilegal.
Merujuk pada kajian yang dilakukan oleh PKJS UI, di Inggris, menaikkan cukai rokok secara konsisten sejak 2000, dan besarannya di atas laju inflasi. Dan hasilnya? Fenomena konsumsi rokok ilegal justru turun drastis, dari 17 miliar batang (2000) menjadi 5,5 miliar batang pada 2017.
Nah, untuk memberantas rokok ilegal tersebut, pemerintah Inggris mengambil langkah konkret, yakni membentuk Tobacco Action Plan, atau Rencana Aksi Tembakau. Beberapa aksi yang dilakukan antara lain: membentuk lembaga baru (UK Border Agency), menempatkan inteligen di luar negeri untuk mencegah rokok ilegal masuk ke Inggris, meningkatkan sanksi pidana, menambah 1.000 orang petugas cukai, dan sebagainya.
Fenomena rokok ilegal jelas merugikan negara, karena menggerus potensi pendapatan negara via cukai rokok. Tetapi jika tidak menaikkan cukai rokok hanya karena alasan rokok ilegal, justru negara akan makin boncos, sebab tidak mendapatkan pendapatan dari manfaat menaikkan cukai.
Praktik baik di Inggris bisa menjadi trigger. Di satu sisi kenaikan cukai tetap konsisten dilakukan (bahkan melebihi besaran laju inflasi), dan di sisi lain ada terobosan/inovasi untuk memberantas rokok ilegal. Jurus itu manfaatnya joss: pendapatan negara via cukai naik, dan rokok ilegal turun tajam.
Jadi, opini KDM itu sepatutnya kita abaikan saja. Alih alih, KDM kita tuntut untuk lebih serius melakukan upaya law enforcement di Provinsi Jabar, karena sudah mendapatkan gelontoran fulus sebesar 10 persen dari DBH CHT.
*) Tulus Abadi, Sekjen Komnas Pengendalian Tembakau, Penggagas Forum Konsumen Indonesia (FKI)
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Kang Dedi Mulyadi versus rokok ilegal