Dijelaskan Munafrizal, jenis tindakan yang dialami para mantan pemain sirkus sejak ditampung oleh OCI, yaitu diambil dan dipisahkan dari orang tuanya dengan diiming-imingi untuk diangkat sebagai anak pada usia 4, 5, atau 6 tahun.
Pada usia sekolahnya, mereka tidak disekolahkan di sekolah formal karena harus berkeliling daerah untuk tampil bermain sirkus. Pemain sirkus OCI yang dalam kondisi sakit dan hamil juga dipaksa tetap bekerja.
Selama dipekerjakan, mereka tidak diberi upah layak dan pelayanan kesehatan yang memadai. Padahal, para mantan pemain sirkus yang ketika itu masih berusia anak-anak harus melakukan pekerjaan dengan risiko tinggi, seperti melakukan atraksi di ketinggian 15 meter.
Selain itu, Kementerian HAM menemukan ketidakjelasan status badan hukum OCI, termasuk tahun berhentinya. Pihak pengadu menyebut ada hubungan antara OCI dan Taman Safari Indonesia, sementara pihak teradu menyebut tidak ada hubungan di antara kedua entitas tersebut.9
"Namun, berdasarkan temuan dokumen pemberitaan media massa cetak pada tahun 1997, penyebutan yang dipakai dalam berbagai kasus ini, yaitu 'Oriental Circus Taman Safari',” ucap Munafrizal.
Menurut ia, kasus ini kompleks karena panjangnya rentang waktu peristiwa, persoalan penetapan subjek hukum, aspek pembuktian, serta kerentanan korban yang mengalami dampak sosial dan psikologis hingga kini.
Oleh sebab itu, Kementerian HAM menekankan bahwa pendekatan yang bersifat multidimensi dengan melibatkan kombinasi aspek hukum, sosial, psikologis, dan etis menjadi penting untuk mengupayakan pemenuhan rasa keadilan bagi korban.
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Kementerian HAM temukan dugaan pelanggaran hukum-HAM dalam kasus OCI