Mama Cibogo sejak kecil dikenal sebagai seorang yang giat belajar. Ia digembleng ayahnya hingga usia delapan tahun untuk belajar memahami dasar-dasar agama.
Selanjutnya ia mulai belajar di sekolah rakyat (SR) di bawah pemerintahan Hindia Belanda dan menjadi lulusan terbaik serta memiliki keilmuan umum yang unggul.
Ia tak langsung melanjutkan pendidikan ke pondok pesantren, namun terlebih dahulu membantu ayahnya untuk berjualan kitab dan mengajar ilmu agama masyarakat sekitar.
Barulah pada usia 15 tahun Mama Cibogo menjadi santri di Pesantren Plered, Purwakarta, asuhan KH Tubagus Ahmad Bakri As-Sampuri atau Mama Sempur, ulama NU yang berpengaruh di Jawa Barat dan Banten.
Setelah dirasa cukup berguru kepada Mama Sempur, Mama Cibogo melanjutkan menimba ilmu ke Mekkah untuk belajar banyak ke mualim para pengarang kitab, di antaranya Sayyid Alwi Al-Maliki dan Syekh Mukhtar bin Atharid Al-Bughuri Al-Batawi Al-Jawi Al-Makki.
Sepulang dari Mekkah, Mama Cibogo langsung belajar ke beberapa pesantren di Tanah Jawa, salah satunya Pesantren Tebuireng, Jombang, Jawa Timur, dan belajar langsung kepada Hadlratussyekh KH Hasyim Asy'ari.
Keilmuan Mama Cibogo diakui oleh KH Hasyim Asy'ari, bahkan ketika ia ingin melanjutkan nyantri ke Pesantren Jampes, Lirboyo, dan Termas, Kiai Hasyim menyembelih seekor sapi sebagai bentuk syukur karena memiliki murid secerdas KH Raden Ma'mun Nawawi yang kelak diyakini menjadi ulama ahli falak dan tafsir.
Setelah menjadi santri di Jampes, Lirboyo, dan Termas, Mama Cibogo menekuni ilmu falak ke Jembatan Lima, dibimbing oleh Guru Mansur yang kemudian menganggapnya sebagai murid paling cerdas, hingga mengangkatnya satu level di atas teman-teman santri sebayanya.
Spektrum - Menanti persetujuan Gelar Pahlawan Nasional ulama pejuang asal Bekasi
Oleh Pradita Kurniawan Syah Jumat, 14 April 2023 10:30 WIB