Kegiatan syukurannya cukup sederhana hanya ada sebuah panggung, kemudian berjejer kursi yang ditutupi tenda di atas lahan yang tidak terlalu luas di pinggir jalanan desa setempat.
Kemudian terdapat sebuah saung kecil yang meyuguhkan sejumlah hasil bumi seperti pepaya, ubi, singkong dan kacang merah hasil garapan masyarakat petani Badega.
Selain itu terdapat sejumlah poster lukisan dengan gambar masyarakat petani dan penguasa, serta tulisan "JALANKAN REFORMA AGRARIA SEJATI" yang dipasang di sekitar panggung dan di pinggir jalan kampung itu.
Selain warga yang hadir, sejumlah aktivis yang tergabung dalam organisasi pada masa itu tampak hadir dan saling bersalaman dan saling peluk dengan warga Badega.
Suasana haru kegembiraan tampak dalam acara sederhana di tengah kampung itu.
Sebagian aktivis termasuk tokoh masyarakat menceritakan sejarah perjuangan rakyat Badega dalam memperebutkan tanah negara yang status hak guna usaha (HGU) perusahaannya sudah habis waktunya.
"Dulu, memang perjuangan yang berdarah-darah," kata Suhdin (76) tokoh masyarakat juga aktivis pergerakan rakyat Badega saat menceritakan kisah perjuangannya di atas panggung.
Pesta rakyat itu digelar setelah masyarakat petani Badega menerima sertifikat lahan Reforma Agraria seluas 383 hektare untuk 1.100 kepala keluarga yang berprofesi sebagai petani pada 13 April 2016.
Warga menggelar kegiatan tersebut sebagai wujud rasa syukur setelah 32 tahun lamanya terlibat dalam konflik hak pengelolaan lahan dengan perusahaan pemegang HGU.
Warga di daerah pelosok selatan Garut itu saat ini sudah memiliki kepastian hak atas pengelolaan tanah berupa sertifikat yang diberikan langsung oleh Menteri Agraria dan Tata Ruang (ATR)/Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) RI Ferry Mursyidan Baldan.
Perjuangan hingga mendapatkan sertifikat tanah sebagai legalitas warga untuk menggarap tanah negara itu tidak semudah membalikkan tangan.
Sejumlah warga Badega termasuk aktivis sempat mendapatkan ancaman, bahkan penganiayaan dari oknum aparat penegak hukum ketika menyuarakan tentang hak tanah negara Badega dapat digarap oleh rakyat.
Tokoh masyarakat Kampung Badega Suhdin menceritakan sejarah perjuangan dalam konflik agraria di Badega.
Dalam ingatannya lahan di Badega pernah ditinjau oleh Gubernur Jawa Barat pada tahun 1973 dan menilai lahan di Badega merupakan tanah terlantar negara.
Ia menuturkan petani penggarap pernah mengajukan permohonan untuk memperoleh hak kepemilikan atas tanah yang telah digarap secara turun-temurun selama puluhan tahun kepada Bupati Garut tahun 1984.
Saat waktu bersamaan, kata dia, PT Surya Andaka Mustika (SAM) mengajukan permohonan HGU atas areal tanah di Badega.
"Tanpa sepengetahuan petani, pada 1986 HGU perkebunan terlantar tiba-tiba dimiliki oleh PT SAM berdasarkan Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri No.SK.33/HGU/DA/86 yang ditandatangani Dirjen Agraria," kata Suhdin.
PT SAM, lanjut dia, meminta petani yang menggarap tanah Badega untuk segera menyerahkan tanah garapannya dan dijanjikan akan dijadikan buruh perkebunan PT SAM.
Suhdin menceritakan sejak itu keadaan masyarakat Badega memanas dan melakukan perlawanan terhadap tanah garapannya.
"Kami waktu itu diculik dan dipenjarakan oleh polisi dengan alasan yang tidak jelas," katanya.
Ia mengungkapkan kesedihan perjuangannya yang bertahun-tahun tidak selesai.
Namun akhirnya program pemerintah tentang reforma agraria dapat tercapai dengan bukti mendapatkan sertifikat sah yang dikeluarkan negara untuk rakyat Badega.
Kemenangan rakyat Badega itu, kata Suhdin salah satunya dengan menggelar pesta rakyat Badega sebagai bentuk syukur perjuangan warga hingga akhirnya mendapatkan sertifikat tanah.
"Ini telah dilakukan reforma agraria sehingga masyarakat dapat hidup mandiri dengan bertani," kata Suhdin.
Ia menyampaikan syukur kepada pemerintah pusat melalui Kementerian ATR/BPN yang telah mewujudkan keinginan warga dengan memberikan sertifikat tanah.
Tanah, kata dia, merupakan sumber penghidupan bagi warga Badega untuk bertani menghidupi keluarganya.
"Masyarakat Badega sangat bergantung pada hasil pertanian, kalau tanah tidak diberikan kepada rakyat artinya pemerintah membunuh rakyat secara tidak langsung," katanya.
Ketua Serikat Petani Badega Usep Saiful Miftah menyampaikan kegembiraannya tentang penantian menggarap tanah negara secara sah dikelola rakyat.
Rakyat Badega, kata dia, sudah hampir 33 tahun berjuang untuk memiliki tanah garapan secara resmi dari pemerintah.
Setelah mendapatkan sertifikat dari negara, lanjut Usep, maka masyarakat petani lebih tenang bertani tanpa rasa takut dan diancam.
"Dengan sertifikat ini adalah tanda hak siapa pun tidak bisa mengganggu gugat, sekarang kami lebih tenang, menggarap lebih leluasa," katanya.
Selain mensyukuri telah mendapatkan sertifikat tanah, kata Usep, pesta rakyat Badega itu untuk mengenang kembali bahwa perjuangan sejak 1984 lalu sampai sekarang tidak mudah.
Bahkan jika harus diingar kembali perjuangannya, kata dia, sampai berdarah-darah yang dialami rakyat Badega.
"Secara singkat perjuangan masyarakat di Badega itu sampai berdarah-darah. Kami tidak ingin generasi penerus di Badega melupakan sejarah panjang pendahulu memperoleh hak-hak atas tanah," kata pria generasi kelima penggarap tanah Badega itu.
Sekjen Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Iwan Nurdin yang hadir dalam Pesta Rakyat Badega itu berharap penyerahan lahan kepada masyarakat Badega dapat memicu daerah lain dalam menyelesaikan konflik agraria.
"Penyelesaian konflik agraria berhasil karena Menteri Agraria tidak memperpanjang HGU," katanya.
Reforma Agraria untuk Rakyat
Gubernur Jawa Barat Ahmad Heryawan saat penyerahan sertifikat tanah bagi masyarakat petani Badega menyampaikan bahwa reforma agraria atau lahan negara yang diserahkan pengelolaannya kepada masyarakat harus mampu menumbuhkan ekonomi kerakyatan bagi kesejahteraan masyarakat Jabar.
"Konsep ekonomi kerakyatan harus berjalan, dapat mensejahterakan petani, lahan harus dikelola dengan baik," kata Gubernur.
Menurut Gubernur reforma agraria yang dilakukan Kementerian ATR/BPN merupakan program bagus yang menjadi bagian dari kerakyatan.
Penerapan ekonomi kerakyatan, kata Gubernur yaitu masyarakat memanfaatkan sepenuhnya atau sebagian besar lahannya tidak dikelola oleh perusahaan.
"Pengelolaannya bersama-sama rakyat menjadi pemiliik bukan jadi buruh, kalau kemudian seluruh lahan diberikan kepada corporate, ya rakyatnya jadi jongos," katanya.
Gubernur menambahkan reforma agraria merupakan gebrakan pertama di Jabar untuk menumbuhkan kesejahteraan masyarakat petani.
Ia berharap program masyarakat untuk memiliki lahan dapat mendorong hidup lebih makmur.
Masyarakat yang sudah mendapatkan sertifikat untuk hak pakai lahan dari negara, harap dia, tidak dijual tetapi dimanfaatkan untuk kesejahteraan.
"Kalau mereka memiliki lahan maka terbuka untuk hidup berkemakmuran," katanya.
Kementerian ATR/BPN RI menggeliatkan program reforma agraria dengan mensertifikasikan lahan pertanian bagi masyarakat.
Menteri ATR/Kepala BPN RI Ferry Mursyidan Baldan mengatakan reforma agraria untuk kemakmuran masyarakat.
"Reforma agraria kebijakan yang harus dilakukan negara untuk menegaskan kemanfaatan lahan tanah bagi kemakmuran masyarakat," katanya.
Menteri Ferry menyerahkan langsung sertikat lahan pertanian seluas 383 hektare bagi 1.100 kepala keluarga yang berprofesi petani di Kampung Badega.
Pemerintah menyerahkan lahan pertanian yang awalnya berstatus HGU, namun tidak diperpanjang setelah habis masa berlaku sejak 2011.
Pemerintah menetapkan lahan itu sebagai tanah terlantar yang dijadikan Tanah Cadangan Umum Negara (TCUN), kemudian diserahkan kepada petani yang telah mengolah lahan tersebut secara turun temurun.
"Reforma agraria ditindaklanjuti dengan program akses reform untuk meningkatkan kesejahteraan petani," katanya.
Selain di Garut, Kementerian ATR/BPN RI telah menyerahkan lahan seluas 80 hektare bagi 425 kepala keluarga petani di Desa Tumbrep, Kabupaten Batang, Jawa Tengah awal Februari 2016.
Penyerahan redistribusi lahan reforma agraria seluas 36.000 hektare juga akan dilakukan di Buol Sulawesi Tengah, 90 hektare di Lampung, serta 10 lokasi lainnya di Bogor, Ciamis, Cianjur, Sukabumi, Pangandaran (Jawa Barat), Pemalang (Jawa Tengah), Solok Selatan (Sumatera Barat), Bima, Dompu (Nusa Tenggara Barat) dan Palangkaraya (Kalimantan Tengah).
Masyarakat yang menerima sertifikat lahan reforma agraria tidak dapat memperjualbelikan selama kurun waktu 10 tahun.
Masyarakat penerima sertifikat lahan reforma agraria dapat menjual lahan kepada peserta program tersebut dengan catatan tidak dapat dialihfungsikan.
Pelaksanaan reforma agraria di Indonesia berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria dan Ketetapan MPR Nomor : IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam.
Aturan tersebut diperbarui dengan terbitnya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 11 Tahun 2010 tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar.